HAKIM DALAM ASPEK FILOSOFIS
BAB I
KENYATAAN DAN KEBENARAN
Masyarakat sebagai sebuah entiitas dalam suatu Negara dalam melakukan suatu hubungan antara entitas yang satu dengan yang lainnya, mereka berkumpul untuk berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Hidup bermasyarakat merupakan suatu komunikasi yang bukan hanya kebutuhan manusia, bukan sekedar kebutuhan fisik saja, juga kebutuhan pengakuan tentang keberadaan. Dengan kemampuan yang dibangun komunikasi antara sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Melalui komunikasi secaman itulah masyarakat dapat mengekspresikan perasaannya kepada sesame dan gal inilah yang mempererat hidup bersama. Masyarakat dalam berinteraksi dalam kehidupannya juga sering menimbulkan suatu pergesekan sehingga perlu adanya aturan yang mengatur untuk ketertiban dalam perilaku, dalam perilaku tersebut disusun sebuah norma. Norma tersebut ada agar perilaku masyarat lebih tertata. Dalam ungkapan klasik ubi societas ibi ius. Pengaturan tentang perilaku antar masyarakat dalam norma, diantaranya Norma : agama, sosial, hukum, ekonomi dan budaya. Dalam kaitannya dengan norma hukum yang mana pengaturannya secara tegas mengatur tentang perilaku masyarakat dan ancaman sanksi apabila dilanggar. Gabriel Marcel menyatakakan bahwa “as long as death plays no further role than that of providing man with an incentive to evade it, man behaves as mere living being not as an existing being[1]. Bahwa keamanan secara fisik dan keamanan secara eksistensial merupakan dua hal yang berbeda. Dimana pada keamanan secara fisik ada gangguan yang berupa kelaparan, kekerasan, pembunuhan dan lain-lain. Pada keamanan ekstensial terdapat gangguan yang berupa rasa takut diasingkan, dicemooh dan lain-lain. Dalam hal terjadi gangguan maka manusia membutuhkan suatu perlindungan atas kesalahan atau pelnggaran bagi dirinya.
Hukum sebagai dasar di Negara Indonesia diharapkan mampu memberikan rasa aman dan menjamin keadilan bagi masyarakat perekonomian Indonesia khususnya bagi pencari keadilan, dalam hal ini bukan keadilan bagi sebagian segolongan orang atau perorangan saja melainkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa tekecuali sebagaimana amanah dari pancasila.
Sebagai mahluk sosial, manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan berinteraksi sosial berpengaruh masyarakat yang berkuasa kepada individu. Dimana adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan diri. Ini yang sering terjadi dan menimbulkan suatu konflik antara satu individu, ataupun golongan makan, dorongan untuk mempertahankan diri dan dorongan untuk melangsungkan jenis. Manusia sebagai mahluk sosial diperlukan suatu pengaturan atau aturan tentang mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam melakukan suatu kegiatan. Hakim sebagai salah satu komponen penegak hukum diharapkan dalam perkembangannya yang mulia mengalami kemajuan manusia juga mempunyai kecenderungan sosial untuk meniru dalam arti membentuk diri dengan melihat kehidupan masyarakat yang terdiri dari :penerimaan bentuk-bentuk kebudayaan, dimana manusia menerima bentuk-bentuk pembaharuan yang berasal dari luar sehingga dalam diri manusia terbentuk sebuah ilmu pengetahuan.
Manusia sebagai makhluk sosial adalah adanya suatu bentuk interaksi sosial didalam hubungannya dengan makhluk sosial antara yang satu dengan yang lainnya faktor-faktor personal yang mempengaruhi interaksi manusia pada umumnya adalah yang pertama adanya tekanan emosional. Ini sangat mempengaruhi bagaimana manusia berinteraksi satu sama lain, kedua adanya harga diri yang rendah. Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi manusia yang direndahkan maka akan memiliki hasrat yang tinggi untuk berhubungan dengan orang lain karena kondisi tersebut dimana orang yang direndahkan membutuhkan kasih sayang orang lain atau dukungan moral untuk membentuk kondisi seperti semula dan yang ketiga adanya isolasi sosial. Orang yang terisolasi harus melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar terbentuk sebuah interaksi yang harmonis dan paradigma berpikir yang satu untuk mencapai suatu tujuan dari komunikasi tersebut.
Ketika harga diri di rendahkan atau terjadi persinggungan antara kepentingan manusia dalam berinterkasi, sering menimbulkan kontak fisik atau perselisihan, baik perselisihan secara fisik atau hak.
Dalam kenyataan manusia tidak dapat hidup sendiri oleh karena itu kebutuhan yang saling melengkapi tersebut dalam perkembangannya yang dahulu diwujudkan dalam kesepakatan janji lisan saat ini cenderung pada hal yang sifatnya kongkrit. Hal ini terjadi karena adanya pergesekan moral manusia, krisis kepercayaan sehingga untuk mewujudkan kepastian maka janji dibuat secara tertulis. Pada zaman dahulu aturan yang ditetapkan gereja adalah aturan yang harus ditaati karena kekuasaan berada ditangan gereja dan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat yang dikenal juga dengan Natural Law, aturan yang dibuat oleh gereja ditaati karena gereja dianggap sebagai pihak yang erat kaitannya dengan Tuhan seperti halnya raja yang dianggap sebagai titisan Tuhan atau dewa didunia. Natural Law timbul dan berkembang pada zaman Gereja Romawi kuno abad pertengahan karena masyarakat masih tunduk pada aturan-aturan yang dibuat oleh Gereja termasuk dalam hal transaksi bisnis tetapi sejak terbentuknya suatu Negara dimana adanya seorang penguasa yang memimpin maka aturan-aturan tersebut dihancurkan oleh Negara demi menyelamatkan hubungan bisnis yang dilakukan oleh para relasi maupun keluarga (biasanya para bangsawan dan pedagang). Natural Law berbicara tentang memberikan petunjuk yang dapat memberikan penjelasan untuk menganalisis sifat manusia dan menyatukan aturan-aturan sebagai kegiatan dalam menarik kesimpulan mengenai perilaku moral manusia.
Jadi sebelum berlakunya hukum positif yang dibuat oleh penguasa telah berlaku Natural Law yang berupa aturan tentang petunjuk mengenai moral dan tingkah laku manusia yang dipelajari secara seksama.
Manusia pribadi adalah bagian dari masyarakat, karena setiap manusia pribadi berinteraksi dan bergaul dengan sesama manusia pribadi serta lingkungan hidupnya, hakim merupakan bagian dari manusia atau masyarakat yang berada dalam suatu lingkungan profesi di pengadilan yang dalam kehidupan sehari-hari juga berinteraksi dengan masyarakat. Hakim dalam kegiatannya sehari-hari kepemilikan. Dengan kata lain, dalam melakukan kegiatannya merupakan proses dari diri pribadi. Proses berlangsung karena ada kehendak yang merupakan essensi dari diri pribadi sebagai sebuah profesi, sehingga proses dan kehendak tidak terpisah dan saling terkait yang mengarah pada kenyataan yaitu materi yang berupa pemilikan. Ini berarti bahwa hakim dalam tingkah laku dan kegiatan berawal dari kehendak pribadi dan bermuara pada kenyataan dari dalam melaksanakan suatu profesi yaitu pemilikan yang berupa kebendaan.
Bagaimana manusia itu sendiri membutuhkan sebuah interaksi untuk membentuk dirinya sendiri malalui proses komunikasi sehingga secara jelas bahwa manusia itu sendiri punya konsep sebagai makhluk sosial.Yang menjadi ciri manusia dapat dikatakan sebagai makhluk sosial adalah adanya suatu bentuk interaksi sosial didalam hubungannya dengan makhluk sosial lainnya yang dimaksud adalah dengan manusia satu dengan manusia yang lainnya. Secara garis besar faktor-faktor personal yang mempengaruhi interaksi manusia pada umumnya adalah yang pertama adanya tekanan emosional. Ini sangat mempengaruhi bagaimana manusia berinteraksi satu sama lain, kedua adanya harga diri yang rendah. Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi manusia yang direndahkan maka akan memiliki hasrat yang tinggi untuk berhubungan dengan orang lain karena kondisi tersebut dimana orang yang direndahkan membutuhkan kasih sayang orang lain atau dukungan moral untuk membentuk kondisi seperti semula dan yang ketiga adanya isolasi sosial. Orang yang terisolasi harus melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar terbentuk sebuah interaksi yang harmonis dan paradigma berpikir yang satu untuk mencapai suatu tujuan dari komunikasi tersebut.
Auguste Comte dalam ajaran positivisme membedakan tiga tahapan besar evolusi pemikiran manusia. Tahap pertama adalah tahap theologies. Pada tahapan ini semua gejala diterangkan dengan merujuk kepada kausa yang bersifat supranatural dan campur tangan sesuatu yang ilahi. Tahapan kedua adalah tahap metafisika. Didalam tahap ini pikiran dikembalikan kepada prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang mendasar yang dipandang berada dibawah permukaan yang membentuk kekuatan nyata dalam evolusi manusia. Tahap ketiga, yaitu tahap terakhir adalah tahap positif. Tahap ini menolak semua konstruksi hipotesis yang ada dalam filsafat dan membatasi diri kepada observasi empiris dan hubungan diantara fakta melalui metode yang digunakan dalam ilmu hukum alamiah[2].
Dalam melakukan melakukan suatu pelanggaran kita sering menggunakan istilah hakim, atau kata-kata hakim, dimana terminologi yang biasa dipakai oleh masyarakat, bahwa Hakim sebagai pemutus dalam suatu permasalahan. Permasalahan yang sering terjadi baik dalam ranah keluarga, masyarakat dan Negara dalam lingkup luas. Pemutus atau pemberi pertimbangan sebenarnya dalam banyak profesi bisa juga disebut sebagai hakim dalam lingkup luas, misalnya dalam lingkup keluarga, Bapak/Ayah sebagai kepala keluarga, dalam lingkup masyarakat yakni banyak profesi, misalnya dokter dalam memutuskan suatu penyakit dan jalan yang harus diobati apakah dioperasi atau hanya diobati merupakan suatu hakim, dosen yang memberikan suatu ilmu dan menjawab semua pertanyaan mahasiswa merupakan suatu hakim yang memberikan ilmu dan memutus dalam pertanyaan tersebut, polisi dalam menindak para pelanggar dijalan raya apakah merupakan hakim . Hakim dalam arti luas merupakan suatu profesi yang memutus dan memberikan pandangan terhadap suatu persoalan.
Hakim dalam penulisan ini berkaitan dengan profesi dalam penegakan hukum sebagai pemutus dalam sengketa atau perkara dalam suatu persoalan yang terjadi dalam pengadilan. Dalam memutus suatu perkara hakim diharapkan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, bahwa hakim dijamin dapat melaksanakan dan memutus suatu perkara dapat terlaksana dan dipertahankan dan hal ini adalah mutlak dan tidak dapat dibantah. Lagi pula jaminan supaya pencapaiannya dalam memutus suatu perkara dengan dilandasi sikap keadilan sehingga timbul kepastian hukum bagi para pencari keadilan (masyarakat). Mengemukakan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan dan memiliki serta memenuhi sedikitnya 5 (lima) persyaratan sebagai berikut:
1. Memiliki landasan intelektualitas;
2. Memiliki standar kualifikasi,
3. Pengabdian pada masyarakat,
4. Mendapat penghargaan di tengah masyarakat,
5. Memiliki organisasi profesi.
Hakim dalam memutus suatu perkara, misalnya dalam suatu perkara pidana hakim melihat dan meneliti terlebih dahulu, dari mulai dakwaan jaksa penuntut umum yang diajukan, saksi-saksi, bukti , tuntutan dan pembelaan dari terdakwa. Setelah memeriksa, baru kemudian hakim mengadili suatu perkara dengan memutus suatu perkara tersebut dalam bentuk putusan.
Dalam melakukan profesinya hakim banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah konkursus tentang etika profesi hukum yang sering dikangkangi oleh mereka-mereka sendiri yang berkecimpung di dalam dunia hukum itu sendiri. Hal ini pula berkaitan dengan profesi hakim sebagai salah satu profesi terhormat di dunia hukum atau dapat juga dikatakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari profesi hukum sekaligus sebagai motor penggerak mesin peradilan.
Sehubungan dengan itu, telah dimaklumi bahwa sejak dulu keluhan-keluhan sering dialamatkan pada dunia peradilan kita. Kalaulah dapat disebut suatu masa, keluhan-keluhan itu terutama terjadi sejak masa orde lama, terus ke masa orde baru, dan tetap berlangsung hingga saat ini.
Ditinjau dari kemampuan masyarakat memberikan reaksi, atau respons terhadap dunia peradilan, ada fluktuasi keluhan-keluhan yang disampaikan. Pada suatu saat masalah indepedensi mengemuka, di saat lain muncul ke permukaan masalah mutu hakim dan mutu putusan.
Semua keluhan di atas bermuara pada pertanyaan tentang profesionalitas hakim yang bersangkutan. Sehingga hampir dapat dikatakan bahwa hakim yang baik adalah hakim yang profesional di bidangnya. Ada 5 (lima) perspektif untuk menjadi hakim yang profesional, yaitu : dalam perspektif intelektual sebagai perspektif pengetahuan dan konsep-konsep baik ilmu hukum maupun ilmu-ilmu atau konsep-konsep ilmu lain terutama ilmu sosial; dalam perspektif etik, berkaitan dengan moral; dalam perspektif hukum, sehubungan dengan ketaatan hakim pada kaidah-kaidah hukum baik bersifat administratif maupun pidana; dalam perspektif kesadaran beragama, berkenaan dengan hubungan seorang hakim dengan Tuhannya; dan terakhir dalam perspektif teknis peradilan dimana pengusaan terhadap hukum acara (hukum formil) mutlak diperlukan.
Hakim merupakan suatu tugas atau profesi yang tunggal, dimana hakim merupakan suatu profesi sebagai pemutus suatu persoalan, dalam persoalan ini bisa berupa hukum ataupun persoalan diluar hukum. Dalam tulisan ini penulis lebih mengedepankan Hakim dalam kajian filsafat hukum dimana hakim merupakan suatu kebenaran yang tunggal yaitu memutus terkait dalam persoalan hukum, dimana hukum merupakan suatu yang tunggal sebagaimana Sutan Takdir Alisjahabana menyatakan bahwa hukum merupakan bahwa ”hukum itu tunggal, tidak berubah dan given/transendental”. Pasti mencari dan menemukan hukum terjadi karena olahpikir tentang kenyataan untuk memperoleh kebenaran, ini berarti bahwa hukum merupakan suatu aturan mengenai sikap dengan tingkah laku manusia dalam masyarakatnya, sehingga aturan yang bagaimanakah dan apakah aturan mengenai sikap dengan tingkah laku menjadi kenyataan dan kebenaran. Dan kaitannya dengan hakim dimana hakim merupakan suatu yang pasti yaitu profesi sebagai pemutus dimana dalam kaitannya dengan kebenarannya hakim merupakan suatu yang tunggal dimana hasil putusan dari hakim tersebut berupa Putusan tidak dalam bentuk lain dengan demikian banyak yang dapat dikatakan sebagai hakim akan tetapi hasil dari putusan tersebut berupa satu putusan.
Dalam pembelajaran dan kajian tentang fakta hukum, objek ilmu hukum adalah model hukum dibangun dari fakta-fakta. Gagasan bahwa fakta-fakta cara dibangun secara internal menuju cara yang mereka demikian dipandang, mampu menciptakan dimensi normatif yang terpisah dari aspek normatif yang terikat pada aturan hukum. Konstruksi ini sebenarnya bisa dilihat sebagai semacam precategorisation sebelum fakta-fakta secara resmi ditugaskan ke kategori hukum yang didirikan. Bagaimana fakta sebenarnya dibangun pada tahap precategorisation mungkin menjadi langkah aktif dalam proses mencapai solusi dalam kasus dan dengan demikian pembangunan - dan rekonstruksi - fakta-fakta sama pentingnya dengan mencari apapun, atau suatu aplikasi, aturan. Fakta-fakta dari kasus tidak fakta nyata. Mereka tidak situasi kehidupan nyata, tetapi kenyataan virtual karena objek ilmu hukum bukanlah fenomena dunia nyata (fakta-fakta nyata dari kasus).[3]
Dalam kebenaran tentang hakim berkaitan dengan hukum, dimana hukum sebagaimana pendapat dari Roscoe Pound[4] melihat bahwa jika dikaji dari filsafat hukum, hukum terdiri dari dua pandangan Pertama kepentingan sosial pada keamanan social sebagai kepentingan pada perdamaian dan ketertiban. Kedua untuk menyesuaikan hukum dengan perubahan yang terus menerus di dalam masyarakat. Berbeda dengan roscoepound, Sultan Takdir Alisjahabana mengkaji Hukum yang merupakan aturan mengenai sikap dengan tingkah laku manusia dalam masyarakatnya menjadi hakiki dan mengikat semua yang berada dalam lingkungan masyarakat tersebut, sehingga aturan hukum menjadi titik awal dari kehidupan manusia dan masyarakat. Ini merupakan sesuatu given yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. bahwa suatu aturan bagi dirinya sendiri dan karena berlaku untuk diri sendiri merupakan moralitas atau hukum moral.
Aturan-aturan tentang norma itu untuk membatasi individu dalam hidup bermasyarakat. Aturan semacam itu memerlukan suatu kesepakatan oleh masyarakat yang bersangkutan. Aturan-aturan itulah yang biasa kita sebut Hukum.
Negara kita sebagai negara hukum, dengan demikian hukum merupakan panglima dan utama dalam penerapan segala macam pelanggaran atau bahkan kejahatan terhadap aturan yang telah diatur. Dalam penerapan suatu aturan hukum tersebut terhadap pelanggaran atau kejahatan memerlukan suatu aparat penegak hukum untuk pengakan hukum (law enforcement).
Dalam suatu sistem hukum baik civil law, namun juga adanya sistem common law. Di dunia ini terdapat tiga sistem hukum yang dominan yakni sistem hukum: civil law, common law, dan socialist law. Namun, dalam perkembangannya sistem socialist law ini ternyata banyak dipengaruhi oleh sistem civil law dimana negara-negara sosialis banyak menganut sistem civil law. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa sistem hukum yang dominan hanya dua yaitu sistem hukum civil law dan common law. Sistem common law bersumber dari hukum Inggris yang berkembang dari ketentuan atau hukum yang ditetapkan oleh Hakim (Judge) dalam keputusan-keputusan yang telah diambilnya (judge made law). Umumnya di negara dengan sistem hukum common law terdapat ketidakpastian hukum dan untuk menghindari hal tersebut maka sejak abad ke-19 dipegang asas hukum yang bernama the rule of precedent yaitu keputusan-keputusan hakim yang sudah ada harus dijadikan pegangan atau keputusan hakim itu harus mengikuti keputusan hakim sebelumnya. The rule of precedent sering disebut juga sebagai doktrin stare decisis yang berarti sebagai to stand by (previous) decisions (berpegang/berpatokan pada putusan-putusan sebelumnya). Sistem hukum common law ini dianut oleh negara-negara yang berbahasa Inggris beserta dengan persemakmurannya, seperti negara Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Kecuali negara bagian Lousiana di Amerika Serikat dan provinsi Quebec di Kanada yang menganut sistem hukum civil law.
Dalam memutus suatu perkara hakim, dalam tiap sistem berbeda antara common law dan civil law. Akibat perbedaan ini sangat mempengaruhi dalam produk putusan yang dihasilkan. Dalam sistem common law hakim bukan sebagai pemutus tetapi juri yang memutus dengan yurisprudensi sebagai acuan dan diikuti, sedangkan dalam sistem civil law hakim memutus suatu perkara dan yurisprudensi hanya sebagai pijakan saja. Sehubungan dengan perbedaan dalam sistem hukum tersebut, maka kemudian dalam rangka putusan hakim keduanya mengalami perbedaan pada yurisprudensi dan kewenangan memutusnya. Namun zaman terus bergerak, dan tiba saatnya era globalisasi yang juga mau tidak mau mempengaruhi sistem hukum yang diterapkan, apabila terjadi perjumpaan antara sistem hukum yang berlainan.
Dalam negara yang berdaulat di Negara kita ini Kekuasaan Pemerintahan di jalankan oleh Legislatif (DPR, MPR dan DPD), Eksekutif (Pemerintah) dan Yudikatif (Hakim). Dalam persoalan dengan hukum khususnya penegakan hukum selain Jaksa, di dalam dunia Peradilan, Hakim menjadi salah satu aparat penegak hukum sebagai pemegang kebijakan aplikatif menjadi titik focus dalam memutus suatu perkara. Hakim sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan (justiciable). Hakim harus mempunyai kemampuan profesional serta moral dan integritas yang tinggi agar mampu mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan kepastian hukum. Selain itu hakim harus mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi serta menjalankan peranan dan statusnya yang dapat diterima oleh masyarakat, hakim juga harus mempunyai iman dan taqwa yang baik. Maka hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan merupakan salah satu dasar yang pokok dan utama. Di samping sebagai Pejabat negara, hakim juga berkewajiban menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena sebagai orang yang memutus suatu perkara maka dituntut adanya kemampuan dalam diri Hakim tersebut baik terhadap penguasaan hukum formal (hukum acara pidana/hukum acara perdata) maupun hukum materiil (hukum pidana materiil/hukum perdata materiil).
Dalam mencari hakekat kebenaran, terdapat penggolongan yang dilakukan karena menganggap bahwa kebenaran itu di dapat melalui pengamatan pancaindera belum tentu sebagai kebenaran yang sejati, bisa saja hanya mendekati atau sebagian bahkan bukan kebenaran yang dimaksud. Penggolongan dalam hakekat mengenai kenyataan yaitu [5]:
1. Kuantitas, yang terdiri atas aliran serba tunggal dan aliran serba ganda ; diantara aliran serba tunggal dan serba ganda biasanya ada aliran dualisma (serba dua), yaitu aliran yang mengemukakan dua unsur sebagai pokok segala sesuatu didunia mengenai roh dan benda.
2. Kualitas atau sifat, yang terdiri atas keadaan yang tetap dan kejadian.
a. Keadaan yang tetap terdiri atas aliran spritualisma (serba roh) dan aliran materialisma (serba zat) yang dapat disebut juga monisma. Kalau hakekat kenyataan itu berupa keadaan maka dapat bersifat roh atau benda atau campuran kedua-duanya.
b. Kejadian terdiri atas aliran mekanisma (serba sawat) dan aliran teleology (serba tuju). Terdapat dua aliran lain juga yaitu determinisma (serba tentu) dan interdeterminisma (tak serba tentu). Aliran mekanisma berkeyakinan bahwa sekalian kejadian didunia ini berlaku dengan sendirinya menurut hukum sebab-akibat sedangkan aliran teleology berkeyakinan bahwa kejadian yang satu berhubungan dengan kejadian yang lain bukan oleh hukum sebab-akibat tetapi semata-mata oleh karena tujuan yang sama. Aliran serba sawat menganggap bahwa seluruh ala mini seolah-olah suatu pesawat dan segala peristiwa didalamnya berlaku menurut rentetan sebab yang melahirkan akibat dengan tidak ada kecualinya sedikit jua pun. Aliran serba tuju yaitu bahwa ia tiada sekali-kali mungkin ada kalau tidak ada hukum sebab-akibat yaitu kausalitas.
Apabila ditinjau dari segi kualitas atau sifat maka tentu pemahamannya juga berbeda, apabila termasuk dalam golongan kualitas dan berupa keadaan yang tetap yang dapat berupa spirit atau kebendaan.[6]
Hakim bukannlah merupakan suatu kerja individu tetapi suatu kerja Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara, kecuali hal-hal tertentu Hakim bisa memutus perkara dengan sendiri atau tunggal. Hakim dalam memutus suatu perkara menghasilkan satu putusan yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Terkadang dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim tersebut sering juga ada perbedaan pendapat (dissenting opinion) yang juga di sampaikan terlampir menjadi satu dalam putusan hakim tersebut.
Dalam hal hakim memutus suatu perkara dapat sangat bermanfaat untuk berhenti sejenak untuk mengingat bagaimana hal-hal yang lumrah tentang hukum; khususnya, hal-hal yang lumrah bahwa hukum berwenang dan untuk kebaikan bersama; seharusnya memberikan kita jawaban yang kita harapkan untuk mengajukan pertanyaan tentang tujuan dari hukum. Ada sebuah perbedaan antara dugaan atas tujuan yang tepat dari hukum dan dugaan dari kebaikan bersama. satu hal dari kebaikan bersama atas komunitas politik datang dari hal positif, keistimewaan tentang komunitas politik seharusnya ditunjukkan. Akan tetapi ketika dihubungkan dengan kebaikan bersama, tujuan yang tepat dari hukum mungkin dibatasi oleh fakta bahwa kegunaan dari hukum melibatkan kekuasaan.
Karakter hukum yang berwenang mengupas kebijaksanaan rakyat, menempatkan mereka dibawah norma yang mengikat mereka; kepentingan untuk memilih sesuatu diberikan, hal ini merupakan sebuah beban yang jika memungkinkan seharusnya dihindari. Norma hukum yang berwenang sering disokong oleh para saksi, menempatkan rakyat dibawah ancaman yang dibebankan kepada mereka jika mereka tidak patuh; dibebaskan dari kerugian, hal ini merupakan sebuah beban yang jika memungkinkan seharusnya dihindari.
BAB II
SEBAB-AKIBAT/ TUJUAN :
A. SEBAB-TUJUAN
Dalam kenyataan tentang hakim, pemikiran tersebut berkaitan dalam sebab-akibat dan menjadi pijakan dalam pembahasan ini, bahwa kenyataan dari hakim itu bersegi dua atau dipilah menjadi kuantitas dan sifat. (a) Hakim mempunyai segi kuantitas, karena hakim tidak berhenti pada profesi sebagai hakim tetapi dalam profesi sebagai hakim, tetapi dalam hal sendiri atau bersama majelis memutus suatu perkara, tetapi akan berbentuk kebendaan dari diri pribadi. Jadi ada 2 (dua) unsur pada kuantitas yaitu hakim dan kebendaan, meskipun bersegi dua, tetapi janji adalah tetap tunggal yang adalah pokok, lain halnya dengan kebendaan yang berupa jamak, akan tetapi juga pokok meskipun jamak. (b) Bagaimana sifat kenyataan dari hakim yang dapat berupa keadaan dan kejadian Kenyataan bukan hanya diketahui dari atau melalui pancaindra, tetapi juga diketahui melalui keadaan dan dapat berwujud zat.
Mengenai hakikat (kuantitas) atau sifat (kualitas) dasar kenyataan itu. Hakikat itu diucapkan dengan menyebutkan jumlah atau dengan menyebut sifat. Di segala zaman dan disegala tempat jawab-jawab tentang hakekat kenyataan itu dinyatakan orang dengan menyebut jumlah dan sifat, sehingga berhubung dengan ini aliran-aliran filsafat yang mengenai soal hakekat dan penjelmaan dapat kita bagi dalam dua golongan yang besar.
Sebab itu dalam arti sebenarnya kejadian sama dengan kelayapan. Tetapi kalau kita pakai perkataan peristiwa, maka keduanya termasuk didalamnya. Dalam uraian itu nyatalah bahwa dalam peristiwa itu kita menghadapi dua keadaan, yaitu keadaan sebelum peristiwa dan keadaan sesudah peristiwa. Atau dengan sebelum peristiwa dan keadaan sesudah peristiwa atau dengan kata yang lain peristiwa itu mengubah keadaan yang satu menjadi keadaan yang lain. Jadi dengan sendirinya kita tiba pada pengertian perubahan. Sementara itu perkataan perubahanpun membawa kita ke lapangan yang lain. Sebab sedangkan perkataan dibaliknya tersembunyi sesuatu yang dalam perubaha itu tetap keadaannya, yaitu yang menjelma dalam berbagai rupa atau keadaan. Disini kita sampai kepada soal hakekat lagi yaitu tetap pada berubah dalam segala perubahan.
Suatu sebab bahwa hukum sebenarnya meyakinkan yang lainnya bahwa hukum (ketentuan dalam yangtelah disepakati yang menjadi dasar lahirnya perikatan / janji) itu mampu memenuhinya, membuat lebih jelas dan tepat, yang paling umum adalah masalah sosial. Ketika kita teringat akan masalah kenyataan sosial yang ada (problem konkrit yang terjadi dalam masyarakat), kita harus yakin untuk melihat kenyataan sosial kita harus menggunakan keberadaan hukum. Kita mungkin bisa menyarankan, dikatakan bahwa dimana terdapat hukum maka disitu terdapat perintah dan kepatuhan. Perintah dan kepatuhan yang harus dilaksanakan karena telah disepakati. Seperti halnya jika anda tidak mengatakan pada orang lain apa yang harus dilakukan maka orang tersebut akan tetap melakukannya, maka anda tidak memiliki hukum. Jadi, dalam menghadapi kenyataan sosial yang ada dalam bertindak dan mematuhi kita memerlukan hukum.
Hubungan sebab akibat akan sebantiasa ditemui dalam setiap peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan rangkaian kehidupan manusia sebagai mahluk sosial. Bila ditemukan unsur akibat dalam suatu rumusan, maka penentuan elemen kelakukan yang menimbulkan akibat tersebut diadakan dengan menggunakan ajaran tentang hubungan kausal. keanekaragaman hubungan sebab akibat kadangkala menimbulkan permasalahan yang tidak pasti, oleh karena tidaklah mudah untuk menentukan mana yang menjadi sebab dan mana yang menjadi akibat, terutama apabila banyak ditemukan faktor berangkai yang menimbulkan akibat. Gorys Keraf mengemukakan ada tiga corak hubungan kausalitas, antara lain :
a. Sebab akibat
Hubungan sebab akibat mula-mula bertolakbelakang dari suatu peristiwa yang dianggap sebagai sebab yang diketahui, kemudian bergerak maju menuju kepada suatu kesimpulan sebagai efek atau akibat yang terdekat. Efek yang ditimbulkan oleh sebab tadi dapat merupakan efek tunggal, tetapi dapat juga berbentuk sejumlah efek bersama atau serangkaian efek.
b. Akibat ke sebab
Hubungan akibat ke sebab merupakan suatu proses berpikir yang induktif bertolak dari suatu peristiwa yang dianggap sebagai akibat yang diketahui, kemudian bergerak maju menuju sebab-sebab yang mungkin telah menimbulkan akibat tadi.
c. Akibat ke akibat
Corak ketiga ini adalah proses penalaran yang bertolak dari suatu akibat menuju akibat yang lain, tanpa menyebut atau mencari sebab umum yang menimbulkan kedua akibat tadi. Penalaran dari suatu akibat ke akibat yang lain tidak dimaksudkan dalam pengertian rantai sebab akibat.
Peristiwa itu diselidiki lebih lanjut, maka akan dapat kita bedakan dua hal yang nyata :Pertama dalam tiap peristiwa itu ada beberapa keadaan yang berturut-turut dalam waktu. Syarat waktu ini amat penting bagi suatu peristiwa.
Hukum alam telah menjadi dasar perdebatan utama dari filsafat hukum sejak para filosof Yunani mulai berargumentasi mengenai dasar dari otoritas hukum. Tetapi menurutnya, tujuan hukum telah diperdebatkan lebih pada politik ketimbang pada filsafat hukum. Menurutnya, pada tahapan equitias dan hukum alam teori hakikat hukum yang berlaku tampaknya menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan hukumnya. Pada tahapan kemapanan hukum hukum dipandang sebagai sesuatu yang memadai dengan sendirinya, gagasan hak-hak alami tampak menjelaskan secara kebetulan apa tujuan hukum dan memperlihatkan bahwa seharusnya terdapat sedikit mungkin tujuan hukum, karena itu adalah hambatan pada kebebasan dan bahkan hambatan yang paling kecil tersebut memerlukan pembenaran yang tegas. Jadi terlepas dari peningkatan secara sistematis dan formal, teori pembuatan hukum pada tahap kemapanan hukum adalah negatif.
Hal itu terutama menyampaikan kepada kita bagaimana kita tidak boleh melakukan legislasi dan tentang persoalan-persoalan apa kita harus menahan diri untuk pembuatan hukum. Pound melihat bahwa meskipun tidak mempunyai teori pembentukan hukum yang positif, sehingga pada abad kesembilan belas kecil kesadaran mengharuskan atau menganut teori tentang tujuan hukum, dalam kenyataannya abad tersebut menganut teori tujuan hukum dan menganutnya secara teguh.
Pound melihat bahwa gagasan-gagasan mengenai tujuan hukum pada masa itu sebagian besar tersirat dalam gagasan-gagasan tentang apakah hukum itu.tentang Tujuan Hukum, dibahas 12 (duabelas) konsepsi tentang hukum [7]:
Pertama, boleh kita kemukakan gagasan tentang suatu kaedah atau sehimpunan kaidah yang diturunkan oleh tuhan untuk mengatur tindakan manusia. Kedua, ada satu gagasan tentang hukum sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukkan jalan yang boleh ditempuh manusia dengan amannya. Ketiga yang rapat hubungannya dengan yang kedua memahamkan hukum sebagai kebijakan yang dicatat dari budiman dimasa lalu yang telah dipelajari jalan yang selamat atau jalan kelakuan dimasa lalu, yang telah dipelajari jalan yang selamat, atau jalan kelakuan manusia disetujui oleh Tuhan. Keempat, hukum dapat dipahamkan sebagai satu sistem asas-asa yang ditemukan secara filsafat, yang menyatakan sifat-sifat benda-benda, karena itu manusai harus menyesuaikan kelakuan dengan sifat benda-benda itu. Kelima hukum dipandang sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari satu undang-undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah. Keenam, ada satu gagasan mengenai hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat manusia didalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang mengatur hubungan antara seorang dengan yang lainnya. Ketujuh, hukum dipikirkan sebagai satu pencerminan dari akal ilahi yang menguasai alam semesta ini, satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang berkesusilaan yang berbeda dengan mesti dilakukan oleh manusia. Kedelapan, hukum sebagai satu himpunan perinth dari penguasa yang berdaulat didalam satu masyarakat yang disusun dengan sistem kenegaraan, tentang bagaimana orang harus bertindak didalam masyarakat itu dan tidak bakat terakhir berdasarkan apa saja yang dianggap terdapat dibelakang wewenang yang berdaulat. Kesembilan, satu gagasan yang menganggap hukum sebagai sistem pemerintah ditemukan oleh pengalaman manusia yang menunjukkan, bahwa kemauan tiap manusia perseorang akan kebebasan sempurna mungkin sejalan dengan kebebasan sepanjang itupula yang diberikan kepada kemauan orang-orang lain. Kesepuluh, orang yang menganggap hukum itu sebagai satu sistem asas yang ditemukan secara filsafat dan dikembangkan sampai perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum dan putusan pengadilan yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu kehidupan lahir manusia di ukur oleh akal atau pada taraf lain, dengan tulisan dan putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak diselaraskan dengan kehendak orang lain. Kesebelas, hukum dipahamkan orang sebagai sehimpunan atau kaidah yang dipikulkan atas manusia didalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara buat memajukan kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukan dengan sadar maupun tidak sadar. Kedua belas, satu gagasan tentang hukum sebagai perintah undang-undang ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia didalam masyarakat, yang ditemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam perintah yang disempurnakan oleh pengalaman manusia mengenai apa yang akan terpakai dan tidak terpakai didalam penyelenggaraan peradilan.
Dari12 (dua belas) konsepsi tentang hukum tersebut di atas masing masing mempunyai persamaan sebagai prinsip dasar terakhir yang tidak akan tercapai oleh kemauan manusia , yaitu : wahyu dari Tuhan, sesuatu dasar penyimpulan (datum ) Metafisika terakhir , yang diberikan kepada kita supaya untuk selama-lamanya kita bersandar kepadanya, kehendak dari penguasa pada waktu dan tempat tertentu.Dalam gambaran tujuan hokum pada abad-19, hokum dikonsepsikan sesuatu yang diadakan untuk memenuhi satu kebutuhan yang paling utama dari masyarakat berupa keselamatan umum.Kemudianmuncul gagasan tentang keamanan.Gagasan mengenai tujuan hukum ada 3 yaitu :
1. Pada tingkatan hukum primitive, hokum diadakan supaya terjaga ketentraman di dalam suatu masyarakat tertentu, untuk menjaga perdamaian dalam keadaan bagaimana saja dan dipelihara dengan mengorbankan apa saja.
2. Menjaga perdamaian dan ketertiban hukum
3. Pemeliharaan status quo dalam masyarakat, yang menjadi konsepsi tujuan hukum pada bangsa Yunani, Romawi, dan bangsa bangsa Eropa pada abad pertengahan.
Dan sesungguhnya pada hakekatnya orang yang memungkiri segala kebenaran itu ialah orang yang mencahari kebenaran dan mendapat keyakinan yang amat sempit dan picik yaitu bahwa letak kebenaran itu ialah dalam memungkiri adanya kebenaran.
Mengenai hakikat (kuantitas) atau sifat (kualitas) dasar kenyataan itu. Hakikat itu diucapkan dengan menyebutkan jumlah atau dengan menyebut sifat. Di segala zaman dan disegala tempat jawab-jawab tentang hakekat kenyataan itu dinyatakan orang dengan menyebut jumlah dan sifat, sehingga berhubung dengan ini aliran-aliran filsafat yang mengenai soal hakekat dan penjelmaan dapat kita bagi dalam dua golongan yang besar.
Ada beberapa golongan yang pertama, mengenai jumlah atau kuantitas. Berhubung dengan soal jumlah itu yang menjadi pertikaian ialah, berapakah jumlah dasar hakekat kenyataan yang kita hadapi. Anaximenes mengemukakan pendapat bahwa pada dasarnya hakekat atau kenyataan itu satu atau monoisme. Akan tetapi ada aliran dualisme (serbadua) yaitu aliran yang mengemukakan dua unsure sebagai pokok segala sesuatu di dunia yaitu roh dan benda.
Pertikaian tentang sifat atau kualitas hakekat kenyataan dapat pula kita bagi dalam dua golongan. Golongan yang pertama meilhat pokok kebenaran itu sebagai suatu keadaan yang tetap (seperti pada kaum Elea), sedangkan golongan kedua sebagai kejadian (seperti pada Herakleitos). Kalau hakekat kenyataan itu berupa keadaan, maka mungkinlah ia bersifat rioh, kita berhadapan dengan materialism (serbazat). Keduanya ini seperti tersebut diatas boleh juga disebut monoisma, sebab masing-masing mengemukakan satu unsure sebagai hakekat kenyataan itu. Dalam hal yang lainnya, yaitu dalam halo rang menganggap hakekat kenyataan terjadi dari roh dan benda kita bertemu dengan dualism
Sifat dan dan keadaan kebenaran yang terakhir dari pada kenyataan sebagai aliran ontologis, hakim mempunyai 5 (lima) sifat, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Adapun yang dimaksud dengan dalam kedinasan meliputi sifat hakim dalam persidangan, terhadap sesama rekan, bawahan, atasan, sikap pimpinan terhadap sesama rekan hakim, dan sikap terhadap instansi lain. Di luar kedinasan mencakup sikap hakim sebagai pribadi, dalam rumah tangga, dan dalam masyarakat. Adapun lima perlambang sifat hakim tersebut tercakup di dalam logo hakim sebagai berikut:
Sifat Kartika (bintang) melambangkan ketakwaan hakim pada Tuhan Yang Maha Esa dengan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang beradab.
1. Sifat Cakra (senjata ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat adil, baik di dalam maupun di luar kedinasan. Dalam kedinasan, hakim bersikap adil, tidak berprasangka atau memihak, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutuskan berdasarkan keyakinan hati nurani, dan sanggup mempertanggung jawabkan kepada Tuhan. Di luar kedinasan hakim bersifat saling menghargai, tertib dan lugas, berpandangan luas dan mencari saling pengertian.
2. Candra (bulan) melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam kedinasan, hakim harus memiliki kepribadian, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin dan penuh pengabdian pada profesinya. Di luar kedinasan, hakim harus dapat dipercaya, penuh rasa tanggung jawab, menimbulkan rasa hormat, anggun, dan berwibawa.
3. Sari (bunga yang harum) menggambarkan hakim yang berbudi luhur dan berperilaku tanpa cela. Dalam kedinasannya ia selalu tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan pengabdiannya, ingin maju, dan bertenggang rasa. Di luar kedinasannya, ia selalu berhati-hati, sopan dan susila, menyenangkan dalam pergaulan, bertenggang rasa, dan berusaha menjadi teladan bagi masyarakat sekitarnya.
4. Tirta (air) melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih), berdiri di atas semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapapun, tanpa pamrih, dan tabah. Sedangkan di luar kedinasan, ia tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukannya, tidak berjiwa aji mumpung dan senantiasa waspada.
Hanya mengenal epistemology beberapa saat , kita tidak dapat mengatakan bahwa epistemology akan menuju suatu hasil bahwa seluruh keyakinan kita konsisten satu sama lain dan jika dijelaskan lebih detail, dapat menuju pembetukan keyakinan yang ada dalam urutan yang benar. Sederhana sekali untuk mengetahui bahwa pemikiran sehari-hari kita dapat membantu penyelidikan akan suatu permasalahan.
Hukum adalah Kewenangan. perlu mendapatkan pengertian mengenai pihak yang berwenang saat ini agar dapat melihat dengan jelas pernyataan mengenai hukum adalah alat kewenangan dan mengapa jelas sekali bahwa hukum memiliki otoritas. Kewengan pertama yang dikemukakan oleh murphy adalah sebagai kewenangan teoritikal, yang adalah kewenangan para ahli dan kedua adalah sebagai kewenangan teoritis, yakni kewenangan berdasarkan tindakan atau yang disebut kewenangan praktikal. Lebih lanjut dijelaskan bahwa :
”Kita akan menemukan bahwa pentingnya untuk memiliki ungkapan untuk menjelaskan mereka yang di perlakukan sebagai kewenangan yang sesungguhnya, dengan mengesampingkan fakta apakah mereka benar-benar asli. Kita dapat menyebut semua orang yang merupakan kewenangan sesungguhnya sebagai “ kewenangan teoritikal de facto” – yang berarti bahwa keyakinan mereka digunakan sebagai alasan untuk menerima keyakinan mereka. Orang dapat menerima kewenangan lain ketika yang ini gagal. Namun hal ini juga terjadi sebaliknya. Seseorang tidak perlu menjadi kewenangan praktikal de facto jika ingin menjadi yang sesungguhnya. Contohnya, orang tua mungkin menjadi pihak yang berwenang atas anak mereka tanpa perlu si anak mengetahui kewenangan orang tua mereka”
Dengan mengemukakan contoh dan pemahaman sebagaimana diuraikan diatas, dijelaskan pula bahwa status hukum sebagai kewenangan adalah suatu hal yang biasa namun kita telah membedakan antara kewenangan de facto dan yang sesungguhnya. Ketika kita mengatakan bahwa hukum memiliki beberapa wewenang, apakah kita memaksudkan bahwa hukum adalah praktik kewenangan de facto atau apakah ia benar-benar praktik kewenangan sesungguhnya atau malah keduanya? Sekali lagi, untuk menanyakan pertanyaan ini kita harus bergerak dari dasar yang telah kita pahami tentang hukum menuju filosofi hukum, karena pada dasarnya satu dari pertanyaan paling penting mengenai sifat dasar hukum adalah apakah wewenang yang penting baginya.
Hukum adalah sejenis norma sosial. Ia berpendapat bahwa cara terbaik untuk memahami karakteristik dari sistem yang legal adalah dengan melihatnya sebagai jaringan peraturan sosial yang kompleks dimana ketidak selarasan perilaku seseorang dalam kaitannnya dengan statusnya sebagai akibat dari ketidak sempurnaan peraturan sosial yang lain. Bayangkan jika sekelompok masyarakat hanya diatur oleh peraturan adat. Peraturan adat adalah salah satu jenis dari norma sosial. Peraturan tersebut bisa mengatur bagaimana kita harus bersikap, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Akan tetapi peraturan adat masih memiliki beberapa kekurangan. Pertama, peraturan adat bisa tidak pasti. Untuk mengatasi masalah ketidakpastian ini, menurut Hart, mungkin sedikit terdapat kesalahan ketika membuat peraturan: yang membuatnya terdengar seolah-olah ada fakta dari persoalan bilamana ada peraturan adat dan apakah maksudnya, tetapi orang-orang tidak mampu untuk muncul dengan argumen-argumen yang meyakinkan untuk menunjukkan apa itu sebenarnya peraturan.
Akan tetapi permasalahan yang sesungguhnya lebih berat daripada itu: permasalahan yang tidak jelas dalam berbagai kasus apakah ada peraturan adat. Permasalahan kedua tentang peraturan adat adalah bahwa mereka statis. Mengatakan bahwa mereka statis bukan berarti bahwa mereka tidak pernah berubah – kita benar-benar tahu bahwa peraturan adat berubah-ubah sewaktu-waktu. Tetapi ini untuk mengatakan bahwa peraturan adat kebal dari perubahan yang disengaja.
Ketidaknyamanan atas pertauran adat yang ketiga berpusat pada cara pelanggaran diketahui, dihakimi, dan diselesaikan. Peraturan adat tidaklah efisien dengan kehormatan akan persetujuan dari tingkah laku yang bertentangan dengan peraturan. Ketika sebuah pelanggaran terjadi, ada kekurangan akan sebuah cara yang tertata untuk menanggapi pembelaan. Peraturan adat itu tidak pasti, statis, dan tidak efisien. Hukum, adalah sebuah perpaduan dari peraturan utama dan peraturan tambahan
Hubungan antara hukum dan kepentingan bersama bahwa ada yang disebutnya sebuah “kandungan minimum dari hukum alam” dalam sistem resmi yang sebenarnya. Kita akan mulai membahas tentang ide-ide dari hukum alam secara lebih menyeluruh nanti di dalam bab, tetapi untuk sekarang pahami dulu secara sederhana sebagai kesusilaan – ada sebuah kandungan minimum dari kesusilaan dalam sistem resmi yang sebenarnya.
Bahwa tujuan hukum tersebut Roscoue Pond[8] menjelaskan : membuat atau menemukan hukum sebenarnya mengandung gambaran pikiran mengenai apa yang dilakukan seseorang dan mengapa dia melakukannya, pada tahapan equitias dan hukum alam teori hakikat hukum yang berlaku tampaknya menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan hukumnya. Pada tahapan kemapanan hukum hukum dipandang sebagai sesuatu yang memadai dengan sendirinya, gagasan hak-hak alami tampak menjelaskan secara kebetulan apa tujuan hukum dan memperlihatkan bahwa seharusnya terdapat sedikit mungkin tujuan hukum, karena itu adalah hambatan pada kebebasan dan bahkan hambatan yang paling kecil tersebut memerlukan pembenaran yang tegas. Jadi terlepas dari peningkatan secara sistematis dan formal, teori pembuatan hukum pada tahap kemapanan hukum adalah negatif. Hal itu terutama menyampaikan kepada kita bagaimana kita tidak boleh melakukan legislasi dan tentang persoalan-persoalan apa kita harus menahan diri untuk pembuatan hukum. Pound melihat bahwa meskipun tidak mempunyai teori pembentukan hukum yang positif, sehingga pada abad kesembilan belas kecil kesadaran mengharuskan atau menganut teori tentang tujuan hukum, dalam kenyataannya abad tersebut menganut teori tujuan hukum dan menganutnya secara teguh.
Bahwa gagasan-gagasan mengenai tujuan hukum pada masa itu sebagian besar tersirat dalam gagasan-gagasan tentang apakah hukum itu.tentang Tujuan Hukum, dibahas 12 konsepsi tentang hukum. Dari 12 konsepsi tentang hukum tersebut di atas masing masing mempunyai persamaan sebagai prinsip dasar terakhir yang tidak akan tercapai oleh kemauan manusia , yaitu : wahyu dari Tuhan, sesuatu dasar penyimpulan (datum ) Metafisika terakhir , yang diberikan kepada kita supaya untuk selama-lamanya kita bersandar kepadanya, kehendak dari penguasa pada waktu dan tempat tertentu.Dalam gambaran tujuan hokum pada abad-19, hokum dikonsepsikan sesuatu yang diadakan untuk memenuhi satu kebutuhan yang paling utama dari masyarakat berupa keselamatan umum.Kemudianmuncul gagasan tentang keamanan.Gagasan mengenai tujuan hukum ada 3 yaitu :
1. Pada tingkatan hukum primitive, hokum diadakan supaya terjaga ketentraman di dalam suatu masyarakat tertentu, untuk menjaga perdamaian dalam keadaan bagaimana saja dan dipelihara dengan mengorbankan apa saja.
2. Menjaga perdamaian dan ketertiban hukum
3. Pemeliharaan status quo dalam masyarakat, yang menjadi konsepsi tujuan hukum pada bangsa Yunani, Romawi, dan bangsa bangsa Eropa pada abad pertengahan.
Pound menguraikan bahwa membuat atau menemukan hukum sebenarnya mengandung gambaran pikiran mengenai apa yang dilakukan seseorang dan mengapa dia melakukannya..
Pound mengawali uraiannya bahwa dengan menyatakan bahwa hukum alam telah menjadi dasar perdebatan utama dari filsafat hukum sejak para filosof Yunani mulai berargumentasi mengenai dasar dari otoritas hukum. Tetapi menurutnya, tujuan hukum telah diperdebatkan lebih pada politik ketimbang pada filsafat hukum. Menurutnya, pada tahapan equitias dan hukum alam teori hakikat hukum yang berlaku tampaknya menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan hukumnya. Pada tahapan kemapanan hukum hukum dipandang sebagai sesuatu yang memadai dengan sendirinya, gagasan hak-hak alami tampak menjelaskan secara kebetulan apa tujuan hukum dan memperlihatkan bahwa seharusnya terdapat sedikit mungkin tujuan hukum, karena itu adalah hambatan pada kebebasan dan bahkan hambatan yang paling kecil tersebut memerlukan pembenaran yang tegas. Jadi terlepas dari peningkatan secara sistematis dan formal, teori pembuatan hukum pada tahap kemapanan hukum adalah negatif. Hal itu terutama menyampaikan kepada kita bagaimana kita tidak boleh melakukan legislasi dan tentang persoalan-persoalan apa kita harus menahan diri untuk pembuatan hukum.
Pound melihat bahwa meskipun tidak mempunyai teori pembentukan hukum yang positif, sehingga pada abad kesembilan belas kecil kesadaran mengharuskan atau menganut teori tentang tujuan hukum, dalam kenyataannya abad tersebut menganut teori tujuan hukum dan menganutnya secara teguh.
Akan sangat bermanfaat untuk berhenti sejenak untuk mengingat bagaimana hal-hal yang lumrah tentang hukum; Khususnya, hal-hal yang lumrah bahwa hukum berwenang dan untuk kebaikan bersama; seharusnya memberikan kita jawaban yang kita harapkan untuk mengajukan pertanyaan tentang tujuan dari hukum. Ada sebuah perbedaan antara dugaan atas tujuan yang tepat dari hukum dan dugaan dari kebaikan bersama.
Satu hal dari kebaikan bersama atas komunitas politik dating dari hal positif, keistimewaan tentang komunitas politik seharusnya ditunjukkan. Akan tetapi ketika dihubungkan dengan kebaikan bersama, tujuan yang tepat dari hukum mungkin dibatasi oleh fakta bahwa kegunaan dari hukum melibatkan kekuasaan.
Selalu ada kemungkinan bahwa sasaran anda kurang lebih akan dicapai jika anda mencoba untuk menggunakan kekuasaan anda untuk menyadarinya. Bahkan jika kebaikan ebrsama merupakan suatu hal yang mengagumkan, mungkin dikarenakan ada undang-undang tertentu bahwa hukum seharusnya tidak memerlukan orang-orang atau aspek kebaikan bersama tertentu bahwa hukum seharusnya tidak mengambilnya sebagai tugas mempertimbangkan. Karakter hukum yang berwenang mengupas kebijaksanaan rakyat, menempatkan mereka dibawah norma yang mengikat mereka; kepentingan untuk memilih sesuatu diberikan, hal ini merupakan sebuah beban yang jika memungkinkan seharusnya dihindari.
Norma hukum yang berwenang sering disokong oleh para saksi, menempatkan rakyat dibawah ancaman yang dibebankan kepada mereka jika mereka tidak patuh; dibebaskan dari kerugian, hal ini merupakan sebuah beban yang jika memungkinkan seharusnya dihindari. Hukum adalah sebuah alat yang tidak baik untuk segala maksud, dan mungkin ada beberapa aspek-aspek dari kebaikan bersama, yang ketika mempertimbangkan yang cukup bernilai, tidak dapat disadari dengan efektif melalui peraturan berwenang yang resmi. “Tujuan yang tepat dari hukum” merupakan “aspek-aspek dari kebaikan bersama bahwa hukum seharusnya mendukung maksud dari peraturan berwenang.
Hukum sebagai logika dimulai dengan pertanyaan apakah derajat hukum adalah objektif, impersonal dan menentukan. Secara skeptic untuk menjawabnya ada 2 langkah, yaitu, pertama beberapa pertanyaan penting tentang hokum tidak dapat dijawab dengan menggunakan metodepenalaran hukum sebab metode ini tidak secara sepenuhnya sebagai sarana untuk mengkonstrusikan yang lebih kritis., kedua ketika digunakan penalaran hukum dan hakim mempunyai kepentingan didalamnya maja jawaban yang diberikan menjadi tidak memuaskan. Bagian ini memfokuskan pembahasan pada epistomologi hukum.
Dalam epistomologi hukum, pertanyaan yang pertama adalah apakah yang menyebabkan adanya hukum dan apakah hukum dapat menghasilkan pengetahuan ataukah hanya sekedar pendapat atau kepercayaan?
Tujuan hukum ada 3 yaitu :
1. Pada tingkatan hukum primitive, hokum diadakan supaya terjaga ketentraman di dalam suatu masyarakat tertentu, untuk menjaga perdamaian dalam keadaan bagaimana saja dan dipelihara dengan mengorbankan apa saja.
2. Menjaga perdamaian dan ketertiban hukum
3. Pemeliharaan status quo dalam masyarakat, yang menjadi konsepsi tujuan hukum pada bangsa Yunani, Romawi, dan bangsa bangsa Eropa pada abad pertengahan.
Hukum sebagai logika dimulai dengan pertanyaan apakah derajat hukum adalah objektif, impersonal dan menentukan. Secara skeptic untuk menjawabnya ada 2 langkah, yaitu, pertama beberapa pertanyaan penting tentang hokum tidak dapat dijawab dengan menggunakan metodepenalaran hukum sebab metode ini tidak secara sepenuhnya sebagai sarana untuk mengkonstrusikan yang lebih kritis., kedua ketika digunakan penalaran hukum dan hakim mempunyai kepentingan didalamnya maja jawaban yang diberikan menjadi tidak memuaskan. Bagian ini memfokuskan pembahasan pada epistomologi hukum.
Peranan aturan-aturan dalam hukum terbatas dalam hubungannya satu sama lain. penalaran hukum sebagai suatu cabang dari penalaran yang terjadi dalam praktek. Penalaran hukum dibedakan dengan metode penalaran lainnya seperti intuisi, kewenangan, analogi, pertimbangan, penafsiran, preposisi dan lain sebagainya yang biasanya digunakan orang ketika membahas tentang logika dan ilmu pengetahuan. Namun demikian metode penalaran ini sering digunakan untuk mendapatkan hasil dalam membahas mengenai hukum. Apabila orang tidak melakukan penalaran dalam hukum akan sulit untuk dapat memecahkan setiap masalah yang rumit yang akan terjadi. Dan keputusan yang dibuat tidak mudah untuk menentukan benar atau salah, sehingga hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang diinginkan oleh hukum. Tujuan yang ingin dicapai oleh hakim dalam hal ini hanyalah sebagai kepatutan.
Posner slanjutnya menguraikan mengenai epistimologi ini dengan mengemukakan hal-hal sebagai berikut[9]:
1. Hukum sebagai logika aturan dan ilmu
Silogisme membicarakan dua prmis yaitu premis mayor dan premis minor. Dari prims mayor dihubungkan dengan premimis minor kemudian diambil konklusi, misalnya semua manusia adalah fana, Sokrates adalah manusia, dengan demikian Sokrates adalah fana. Keabsahan argument tersebut kelihatannya dipaksakan, tetapi itu hanyalah sebab dari kesimpulan sehingga akan kita dapatkan bahwa keabsahan silogisme seperti metafora yang sebenarnya. Penggunaan silogisme mendefininisikan sifat formalitas hukum., disamping silogisme masih ada bentuk dasar logika yang lain sebagai dasar bahwa suatu profisi tidak dapat keduanya benar atau saah, atau keduabnya identik, masing-masng keduanya mempunyai identitas. Disamping itu para pengacara juga menggunakan bahasa logika, disini yang tidak logis sama dengan kesalahan yang jelas. Logika tidak hanya menggunakan pertanyaan tetapi juga dengan jawaban, pertanaannya adalah salah satu dari penasiran undang-undang dan kita dapat melihat bahwa tafsiran kadang-kadang mempunyai jawaban tertentu yang bukan bagian metode ilmiah.
2. Aturan, Standard dan Diskresi
Suatu aturan hukum merupakan bentuk premis mayor dari silogisme dengan suatu proses hukum tidaklah merupakan silogisme apabila hakim hanya melakukan pmelengkapi hukum dengan undang-undang dan kemudian menggunakannya dengan premis untuk memutuskan dengan kasus lain. Disini dibedakan antara keabsahan silogisme dan dugaan. Kalau dugaan taergantung tidak hanya pada silogisme yang khas tetapi juga pada kebenaran. Tetapi dalam aturan hukum kebenaran yang merupakan premis mayor dan sekaligus primis minor sering kali dapat dibantah. Dimulai dari penentuan premis minor dari uraian fakta sering kali kesulitan dalam melakukan proses logika apalagi bila diterapkan pada aturan yang bersifat umum.
3. Observasi Ilmiah
Setelah mengunakan logika dengan metode obyektif, maka pengunaan verifikasi statistic perlu dikembangkan. Metode ini sebenarnya hanya menghasilkan kenbenaran yang tentative dan transisional. Metode ilmiah digunakan oleh masyarakat modern dalam mencapai kebenarran yang obyektif. Sebenarnya metode ilmiah mempunyai peranan yang kecil dalam penlaran hukum karena keputusan-pkeputusan hukum yang dibuan tergantung pada prediksi-prdiksi sehingga ilmu hukum sering dihubungkan dengan ilmu soisal dan psikologi.
4. Penalaran Hukum sebagai Penalaran Praktek
Penalaran praktis diorentasikan pada tindakan yng sangat kontras dengan metode penalaran murni, dimana kita menentukan lebih dahulu yang mana proposes yang benar atau yang salah, yang mana penbdapat yang sah atau tidak sah. Penalaran praktis meliputi: seperangkat tujuan dan memilih tujuan yang paling baik, inilah yang disebut aliran neotradisionalisme. Bentuk pertama penalaran praktis yaitu dengan menunjuk suatu metodoligi untuk tiba pada suatu kesimpulan dengan mendasarkan pada akibat. Bentukkedua, seperti yang dikemkakan Aristotele yaitu dengan mendiskusikan tetang induksi, dialektika dan retorika. Dan bentuk yang ketiga adalah bentuk yang bertumpangtindih satu dengan yang lain. Penalaran praktis dalam hal ini bukanlah metode analisa sederhana, tetapi meliputi juga anekdot, introspeksi, imajinasi, pendapat umum, empaty, metafora, analogi, preseden, kebiasaan, pengalaman, intuisi dan induksi.
5. Authoritas
Authoritas, maksudnya asesuatu yang lain dalam hukum. Keputusan yang tidak mempunyai otoritas baik memerintahkan kesepakatam, menghubungkan kesepakatan, tetapi menyimpang dari hirarki yudisial. Otoritas dalam intelekjtual diartikan sebagai suatu transsi dalam ilmu baru. Keputusan Pengadilam dinilai mempunyai otorityas sebab keputusan itu ditujukan pada kebenaran individual yang kemudian diangkat sebgai kenenaran epistemic.
Penalaran dengan Analogi
Inti penalaran hukum dipahami oleh kebanyakan ahli hukum moder adalah penalaran dengan analogi. Penalaran dengan analogi ini merupakan cikal bakal dari suatu metode, misalnya ketika pengacara setiap hari mrlakukan penalaran. Logika infornmal merupakan metode penalaran yang penting sebab, logika lebih sering digunakan sebagai sarana mengkonstrukjsi hukum.
6. Ilustrasi Lain Penalaran Praktis dalam Hukum
Ketika seorang tetangga melihat kebakaran dirumahmu dan menympaikan kepadamu tindakan apa yang pertama akan kamu lakukan, tentunya kamu akan mengetahui keseriusan dari pemberi berita tersebut tentang kemampuannya, perhatian dan keseriusannya. Proses pengertian tidak selamnya merupakan proses logika walaupun hakim selalu berpikir demikian. Tetapi soal pengertian tentang orang, praktek dan lingkungan fisik merupakan bentuk pengertian yang tergantung pada pengalaman hidup yang sama. Faktanya bahwa penafsiran suatu proses yang misterius yang berbeda dengan observasi logis dalam ilmu. Ini merupakan tantangan dalam mencapai hukum yang obyektif.
Ramalan mengatakan bahwa akan turun hujan dan saya harus memutuskan untuk mengambil paying ketika akan meninggalkan rumah. Pertimbangan saya mungkin, ramalan cuava tersebut benar. Bentuk analisa demikian, dalam ilmu ekonomi disebut analisa untung rugi, yang dalam filsafat ini diartikan dengan rasional akhir atau kadang disebut deliberasi. Hl ini penting dalam setiap bentuk penalaran hukum pilihan antara alternative aturan hukum tergantung pada keputusan yang dibuat sesai dengan tujuan yang diharapkan. Kita melihatnya sebagai penafsiran juga, tetapi proses memutuskan merupakan kebijakan atau analisa etika hukum. Ketika tujuan disetujui akan ada dua alternative aturan, yaitu penafsiran atau aplikasinya.
Penafsiran yang digunakan dalam hukum tidaklah kaku sebab kegiatan penafsiran mengandung beberapa fungsi yang berbeda. Penafsiran (interpretasi juga sering digunakan dalam berbagai diskusi di pengadilan yang bukan hanya sekedar untuk membuat keputusan. Dalam pembahasan ini bahwa semua teks hukum adalah merupakan rahasia. Kebanyakan teks hukum ditafsirkan secara langsung sehingga menghasilkan pesan yang cepat. Tetapi dalam berbagai hal tidaklah demikian. Metode penafsiran ini menghasilkan cara yang objektif dalam menjelskan hukum tidak hanya dalam teori namun juga dalam praktek. Dalam memberikan hukum supaya jelas maka disini lebih baik untuk mengesampingkan terminologi hukum dan berkonsentrasi pada penafsiran yang dalam praktek melihat pada teks hukum dan dalam kasus-kasus yang artinya tidak jelas, maka akan dijelaskan dengan metode penafsiran.
Penalaran hukum sebagai suatu cabang dari penalaran yang terjadi dalam praktek. Penalaran hukum dibedakan dengan metode penalaran lainnya seperti intuisi, kewenangan, analogi, pertimbangan, penafsiran, preposisi dan lain sebagainya yang biasanya digunakan orang ketika membahas tentang logika dan ilmu pengetahuan. Namun demikian metode penalaran ini sering digunakan untuk mendapatkan hasil dalam membahas mengenai hukum. Apabila orang tidak melakukan penalaran dalam hukum akan sulit untuk dapat memecahkan setiap masalah yang rumit yang akan terjadi. Dan keputusan yang dibuat tidak mudah untuk menentukan benar atau salah, sehingga hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang diinginkan oleh hukum. Tujuan yang ingin dicapai oleh hakim dalam hal ini hanyalah sebagai kepatutan
Akan sangat bermanfaat untuk berhenti sejenak untuk mengingat bagaimana hal-hal yang lumrah tentang hukum; Khususnya, hal-hal yang lumrah bahwa hukum berwenang dan untuk kebaikan bersama; seharusnya memberikan kita jawaban yang kita harapkan untuk mengajukan pertanyaan tentang tujuan dari hukum. Ada sebuah perbedaan antara dugaan atas tujuan yang tepat dari hukum dan dugaan dari kebaikan bersama.
satu hal dari kebaikan bersama atas komunitas politik dating dari hal positif, keistimewaan tentang komunitas politik seharusnya ditunjukkan. Akan tetapi ketika dihubungkan dengan kebaikan bersama, tujuan yang tepat dari hukum mungkin dibatasi oleh fakta bahwa kegunaan dari hukum melibatkan kekuasaan.
Selalu ada kemungkinan bahwa sasaran anda kurang lebih akan dicapai jika anda mencoba untuk menggunakan kekuasaan anda untuk menyadarinya. Bahkan jika kebaikan ebrsama merupakan suatu hal yang mengagumkan, mungkin dikarenakan ada undang-undang tertentu bahwa hukum seharusnya tidak memerlukan orang-orang atau aspek kebaikan bersama tertentu bahwa hukum seharusnya tidak mengambilnya sebagai tugas mempertimbangkan. Karakter hukum yang berwenang mengupas kebijaksanaan rakyat, menempatkan mereka dibawah norma yang mengikat mereka; kepentingan untuk memilih sesuatu diberikan, hal ini merupakan sebuah beban yang jika memungkinkan seharusnya dihindari.
Norma hukum yang berwenang sering disokong oleh para saksi, menempatkan rakyat dibawah ancaman yang dibebankan kepada mereka jika mereka tidak patuh; dibebaskan dari kerugian, hal ini merupakan sebuah beban yang jika memungkinkan seharusnya dihindari. Hukum adalah sebuah alat yang tidak baik untuk segala maksud, dan mungkin ada beberapa aspek-aspek dari kebaikan bersama, yang ketika mempertimbangkan yang cukup bernilai, tidak dapat disadari dengan efektif melalui peraturan berwenang yang resmi. “Tujuan yang tepat dari hukum” merupakan “aspek-aspek dari kebaikan bersama bahwa hukum seharusnya mendukung maksud dari peraturan berwenang. Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya Negara hukum.
Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut.
1. Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
2. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormatiasas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesame manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
5. Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas..
Hukum harus dapat melayani kebutuhan masyarakat, serta mampu mengatasi dilemma moral dalam praktek pembentukan peraturan.[10]
Dari berbagai pendekatan, di sini preseden dibagi dalam model, yaitu:
· The Natural Model; dimana The Natural Model menjelaskan alasan hakim secara motivasi moral yang tidak dibatasi untuk mengikuti keputusan dengan yang mereka tidak setuju.
The Rule Model
· ; di mana hakim terikat oleh peraturan yang diucapkan dalam pendapat hakim sebelumnya. Tidak seperti The Natural Model, The Rule Model merupakan model preseden otoritatif.
· The Result Model: Seperti model aturan, ini adalah model preseden otoritatif; hakim harus memutuskan dengan cara yang ditentukan oleh keputusan sebelumnya, bahkan jika pendapatnya mendukung hasil yang berbeda. Berdasarkan The Result Model, apa yang mengikat bukanlah peraturan yang ditetapkan oleh hakim sebelumnya, melainkan keputusan para hakim terakhir.
Ketiga model ini dalam penerapannya kemudian dievaluasi dan dipertentangkan antara satu dengan yang lain sehingga menghasilkan model yang benar-benar dapat diterapkan.
Prinsip hukum merupakan norma yang ideal dari The Result Model, karena hakim dalam kasus yang sama tidak bebas untuk memutuskan di luar yang diputuskan sebelumnya. Bahwa aturan-aturan hukum, standar-standar dan prinsip-prinsip hukum. Aturan-aturan merupakan norma hukum yang formal dan setiap tahap pembahsannya melalui mekanisme. Ini berbeda dengan standar, karena standar dapat bersifat flaksibel. Perbedaan antara prinsip hukum dengan aturan hukum adalah pada kedua titik dasar terhadap keputusan tertentu tentang kewajiban hukum dalam keadaan tertentu, tetapi keduanya berbeda dalam karakter dari arahnya keduanya. Aturan dapat diterapkan dalam semua atau tidak ada bentuk. Sementara dalam kondisi tertentu prinsip hukum tidak dapat diterapkan sebagaimana aturan hukum.
Sementara itu aliran hukum alam cederung melihat hukum sebagai satu kebenaran dan lebih melihat bahwa metode penalaran hukum tidak akan mampu untuk mencapai kebenaran moral yang menjadi dasar hukum. Karena hal demikianlah mengapa kaum positivis itu disebut sebagai penganut formalistis sementara aliran alam (naturalis) disebut sebagai realis (pragmatis). Holmes merupakan penganut positivisme formalis dengan melihat pada objek penelitiannya mengenai teori penafsiran kontraknya. Akan tetapi menurut Posner bahwa hal itu tidaklah berlaku secara kaku krena kaum naturlis dapat menjadi positivis atau kaum formalis dapat menjadi kaum realis.
Selama dua abad dalam pemikiran lapangan ilmu hukum telah terjadi perdebatan antara dua pemikiran dari kedua kelompok di atas, yang satu melihat hukum lebih dari sekedar politk dan dalam hal ini hakim harus mempunyai keahlian untuk menggunakan hukum dalam memberikan jawaban atas setiap permasalahan yang sulit, pada sisi lain juga ada kecenderungan yang melihat hukum sebagai politik yang melalui hukum sebagai politik tersebut hakim memiliki kewenangan diskresi. Pada sisi yang demikian ini maka hukum merupakan sesuatu yang objektif dan disiplin yang otonom.
Masalah-masalah mendasar yang menjadi perdebatan antara dua kelompok tersebut di atas dan juga mengupas masalah-masalah hukum lainnya yang timbul. Beliau juga mengatakan bahwa positivisme dan normatif adalah juga deskriptif dan evaluatif. Hukum Amerika merupakan hukum yang menganut realis dan juga pragmatis, dan hukum Amerika ini merupakan bukti nyata karakter hukum yang pragmatis. Walaupun pendapat Posner ini banyak disanggah oleh sarjana yang tidak mau disebut sebagai aluran pragmatik.
Hukum haruslah memandang ke depan dan inilah yang diinginkan oleh konsep hukum yaitu kosep hukum pragmatik. Hukum berfungsi sebagai pelayan bagi kebutuhan masyarakat, bukan sebagai asal akan tetapi sebagai tujuan utama.
Hal itu terutama menyampaikan kepada kita bagaimana kita tidak boleh melakukan legislasi dan tentang persoalan-persoalan apa kita harus menahan diri untuk pembuatan hukum. Pound melihat bahwa meskipun tidak mempunyai teori pembentukan hukum yang positif, sehingga pada abad kesembilan belas kecil kesadaran mengharuskan atau menganut teori tentang tujuan hukum, dalam kenyataannya abad tersebut menganut teori tujuan hukum dan menganutnya seca Akan sangat bermanfaat untuk berhenti sejenak untuk mengingat bagaimana hal-hal yang lumrah tentang hukum; Khususnya, hal-hal yang lumrah bahwa hukum berwenang dan untuk kebaikan bersama; seharusnya memberikan kita jawaban yang kita harapkan untuk mengajukan pertanyaan tentang tujuan dari hukum. Ada sebuah perbedaan antara dugaan atas tujuan yang tepat dari hukum dan dugaan dari kebaikan bersama.
Satu hal dari kebaikan bersama atas komunitas politik dating dari hal positif, keistimewaan tentang komunitas politik seharusnya ditunjukkan. Akan tetapi ketika dihubungkan dengan kebaikan bersama, tujuan yang tepat dari hukum mungkin dibatasi oleh fakta bahwa kegunaan dari hukum melibatkan kekuasaan.
Selalu ada kemungkinan bahwa sasaran anda kurang lebih akan dicapai jika anda mencoba untuk menggunakan kekuasaan anda untuk menyadarinya. Bahkan jika kebaikan ebrsama merupakan suatu hal yang mengagumkan, mungkin dikarenakan ada undang-undang tertentu bahwa hukum seharusnya tidak memerlukan orang-orang atau aspek kebaikan bersama tertentu bahwa hukum seharusnya tidak mengambilnya sebagai tugas mempertimbangkan. Karakter hukum yang berwenang mengupas kebijaksanaan rakyat, menempatkan mereka dibawah norma yang mengikat mereka; kepentingan untuk memilih sesuatu diberikan, hal ini merupakan sebuah beban yang jika memungkinkan seharusnya dihindari.
Norma hukum yang berwenang sering disokong oleh para saksi, menempatkan rakyat dibawah ancaman yang dibebankan kepada mereka jika mereka tidak patuh; dibebaskan dari kerugian, hal ini merupakan sebuah beban yang jika memungkinkan seharusnya dihindari. Hukum adalah sebuah alat yang tidak baik untuk segala maksud, dan mungkin ada beberapa aspek-aspek dari kebaikan bersama, yang ketika mempertimbangkan yang cukup bernilai, tidak dapat disadari dengan efektif melalui peraturan berwenang yang resmi. “Tujuan yang tepat dari hukum” merupakan “aspek-aspek dari kebaikan bersama bahwa hukum seharusnya mendukung maksud dari peraturan berwenang
Menggunakan ”epistemology” sebagai contoh bahwa filosofi dimulai dengan hal-hal yang lumrah dan bahwa pertanyaan-pertanyaan menarik dalam filosofi, entah konseptual atau substantif, bertujuan untuk memperjelas sesuatu atau menyelesaikan konflik melalui hal-hal yang telah kita pahami. Selanjutnya, murphy mengemukakan bahwa :
” Poin ketiga yang ingin saya perjelas adalah, bahwa tidak ada garansi dalam bidang filosofi manapun. Kita tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa investigasi filosofikal kita akan memperkaya pemahaman kita akan sebuah bidang atau tiba pada kesimpulan bahwa hal-hal yang lumrah adalah kosong atau campur aduk yang malah tidak dapat diterima. Hanya mengenal epistemology beberapa saat , kita tidak dapat mengatakan bahwa epistemology akan menuju suatu hasil bahwa seluruh keyakinan kita konsisten satu sama lain dan jika dijelaskan lebih detail, dapat menuju pembetukan keyakinan yang ada dalam urutan yang benar. Sederhana sekali untuk mengetahui bahwa pemikiran sehari-hari kita dapat membantu penyelidikan akan suatu permasalahan”
B. TUGAS
Hakim merupakan penegak hukum yang diharapkan masyarakat dapat memberikan rasa keadilan bagi mereka yang mencari keadilan di lembaga Peradilan. Hakim diharapkan memiliki kemampuan yang lebih tentang segala hal. Adanya ungkapan klasik Ius Curia Novit, Hakim dianggap tahu hukum. Kemampuan dan pengembangan Hakim tersebut erat korelasinya dengan sifat/sikap seorang Hakim dalam konteks untuk mengembangan diri agar menjadi seorang Hakim yang idealistik. Menurut kalangan doktrina sifat/sikap seorang Hakim itu secara idealistik cukup penting eksistensinya dimana pada pokoknya, bahwa :
1. berpikir secara ilmiah : logis, sistematis, tertib ;
2. Sabda Pandita Ratu : putusannya harus bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis, sosiologis dan filosofis ;
3. maton = punctual + correct ;
4. berpikir secara integralistik (manunggal), partisipatif, menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat ;
5. tidak lekas puas : haus akan ilmu dan pengalaman ;
6. Ksatrya Pinandita : Sarjana – Sujana – Susilis.
dan Maurice Rosenberg, bahwa sifat/sikap seorang Hakim adalah :
1. moral caurage : pray for God’s guidance ;
2. decisiveness : punctual + correct ;
3. fair + upright ;
4. patience : able to listen with mauth closed + mind open ;
5. healthy : physical mental + mental ;
6. consideration for others : kind + understanding ;
7. wise + experienced : in supervision of subordinates ;
8. industriaous, serious, not lazy : no unimportant cases ;
9. professional : neat personal appearance ;
10. dignity : honorable/divine job ;
11. dedicated, devonation as a lifetime job ;
12. loyal to the courts/judiciary ;
13. active in work and professional associations ;
14. knowledge of community + resources : guidance of society ;
15. sence of humor (not deppresive) ;
16. above avarage law school record ;
17. above avarage reputation for professional ability ;
Kemudian, selanjutnya selain dalam diri Hakim dituntut memiliki sifat/sikap demikian, juga haruslah didukung penguasaan ilmu dari segi teoretis dan praktik serta adanya polarisasi kerangka landasan berpikir/bertindak.
Hakim dalam meningkatkan profesionalismenya dengan mengadakan peningkatan diri dan juga dengan adanya pelatihan untuk menambah dan mematangkan diri dan sebagai semangat atau penyemangat dalam pekerjaannya. Pelatihan/Penataran Hakim ini penting eksistensinya oleh karena pada dimensi ini seorang Hakim akan memperoleh cara menangani suatu kasus secara in-concreto. Pada aspek ini, pelatihan/penataran Hakim merupakan suatu proses transformasi ilmu pengetahuan dan pengalaman dari seorang pengajar (in casu seorang Hakim yang telah berpengalaman) kepada seorang Hakim yang relatif lebih yunior. Pembahasan materi dari pelatihan/penataran Hakim harus sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan seorang Hakim dalam menangani suatu kasus. Tegasnya, materi pelatihan mengacu kepada kebutuhan praktik dengan lebih banyak forsi kepada ketentuan hukum acara sebagai aplikasi ketentuan hukum materiil.
Dengan banyak melakukan pelatihan/penataran diharapkan seorang Hakim akan dapat menyerap ilmu, pengalaman dan kasus-kasus konkrit yang terdapat dan pernah diputusan seorang Hakim dalam beberapa yurisprudensi. Pada pelatihan Hakim ini selain harus direncanakan dan berkesinambungan, juga hendaknya diperhatikan tentang metode pengajaran yang langsung tertuju kepada kebutuhan seorang Hakim secara praktis. Selain dengan melalui metode ceramah, juga dilakukan dengan diskusi baik kelompok maupun pleno, serta juga dengan media audio visual sehingga nantinya diharapkan ada kesatuan dan keseragaman dalam proses dan prosedur persidangan di Indonesia. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah akhir dari penataran/pelatihan Hakim hendaknya dievaluasi secara cermat, jujur, adil dan memang dilaksanakan secara komprehensif dan berkesinambungan sehingga Hakim yang telah melakukan penataran/pelatihan menjadi mempunyai nilai tambah dibandingkan dengan Hakim yang belum melakukan penataran/pelatihan. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah setelah Hakim tersebut memperoleh sertifikat pelatihan/penataran harus jelas juga bagaimana terhadap jenjang karier Hakim tersebut dikemudian hari. Aspek ini penting supaya semakin jelas jenjang karier Hakim tersebut maka di satu sisi bagi Hakim tersebut akan berusaha tetap memacu diri guna pengembangan keilmuannya baik hukum formal maupun hukum materiil sedangkan di sisi lainnya bagi Hakim lainnya akan berusaha secara langsung maupun tidak langsung untuk berusaha mendapatkan pelatihan/penataran Hakim karena akan langsung berguna bagi kelanjutan dan kejelasan kariernya. Hakim dalam perannya sebagai perannya sebagai penegak hukum tidak hanya sebagai pemutus perkara.
Hakim dalam mengadili suatu perkara menurut hukum ada tiga langkah yang harus dilakukan [11]:
1. Menemukan Hukum, menetapkan manakah yang akan diterapkan diantara banyak kaidah didalam suatu sistem hukum atau jika tidak ada yang dapat diterapkan, mencapai satu kaidah untuk perkara itu ( yang mungkin atau tidak mungkin dipakai sebagai suatu kaidah untuk perkara lain sesudahnya) berdasarkan bahan yang sudah ada menurut sesuatu cara yang ditujukan oleh sistem hukum.
2. Menafsirkan kaidah yang dipilih atau ditetapkan secara demikian, yaitu menentukan maknanya sebagaimana ketika kaidah itu dibentuk dan berkenan dengan keluasaannya yang dimaksud.
3. Menerapkan kepada perkara yang sedang dihadapi kaidah yang ditemukan dan ditafsirkan demikian.
Tugas hakim semata-mata terdiri dari menafsirkan satu kaidah yang diberikan oleh penguasa, seluruh yang berasal dari luar pengadilan dengan satu proses yang diteliti berupa mendeduksikan isinya yang dapat diketahui dengan menggunakan logika dan secara mekanis menerapkan kaidah yang diberikan dan ditafsirkan demikian.
Hukum sejati mencari jalan keluar dari keragu-raguan yang melekat pada usaha menemukan satu isi yang lebih besar dari kaidah khusus yang diperinci, dengan mengadakan diferensiasi perkara dan menerapkan ucapan hukum berbentuk hukum pepatah lewat penjatuhan putusan berdasarkan pertimbangan keadilan oleh pengadilan (equity of the tribunal).
Fungsi pengundangan (legislasi) adalah untuk menentukan isi norma. Norma umum dan menyediakan organ-organ dan prosedur prosedur (pengadilan dan pengadilan-pengadilan administratif) bagi pelaksanaan norma-norma ini. Alat dalam proses mengkonkretkan norma norma adalah kekuatan yudisial, yang dilaksanakan oleh pengadilan- pengadilan dan peradilan-peradilan administratif. Otoritas keputusan pengadilan menentukan apakah dan dalam era apa suatu norma umum harus diaplikasikan ke dalam kasus konkret. Hukum menurut Kelsen merupakan sebuah teknik khusus organisasi sosial. Ciri khas hukum bukan sebagai suatu tujuan akhir tetapi sebagai alat khusus, sebagai sebuah alat pernaksaan yang dengan demikian tidak ada nilai politik atau etik menempel, sebuah alat yang nilainya timbul lebih dari sekedar tujuan yang melebihi hukum itu (Bodenheimer, 1967: 101).
Penerapan hukum oleh pengadilan merupakan satu proses mekanis dan hanya satu fase dari interpretasi, diperkuat oleh usaha memberatkan secara filsafat percobaan hendak menghindarkan dari penyelenggaraan peradilan yang terlalu bersifat pribadi (overpersonal) sebagai akibat dari tindakan kembali sebagian saja kepada keadilan tanpa hukum pada tingkatan equity dan hukum alam. Hukum di Inggris-Amerika diakui bahwa pengadilan harus menafsirkan supaya dapat menerapkan undang-undang. Menafsirkan undang-undang tidak dianggap membuat undang-undang, dan penerapan hukumnya dianggap tidak menyangkut sesuatu unsur administratif dan keseluruhannya adalah mekanis.
Fungsi Pengadilan dan fungsi legislasi saling masuk-memasuki. Hukum di Inggri dan Amerika menerapkan analogi terhadap satu bagian dari kitab undang-undang maupun terhadap satu teks dari hukum romawi, pada pokoknya adalah proses yang sama.
Naskah Iustinianus terdiri dari empat bagian yaitu Caudex yaitu aturan-aturan putusan yang dibuat oleh para kaisar sebelum Istinianus, Novella yaitu aturan –aturan hukum yang diundangkan oleh Kaisar Istanianus itu sendiri, Instituti satu buku ajar kecilnyang dimaksudkan untuk pengantar bagi mereka yang baru belajar hukum. Digesta yang merupakan sekumpulan besar pendapat para yuris Romawi mengenai ribuan proposisi hukum yang berkaitan dengan bukan saja hak milik, testamen, kontrak, perbuatan melanggar hukum dan cabang-cabang hukum[12]
Dalam Negara Eropa Kontinental muncul suatu teori yang dapat dipahamkan sebaik-baiknya, metode dari hakim-hakim equity Inggris banyak mempengaruhinya. Bagi penganuy teori ini adalah penyeselaian yang dapat diterima oleh akal sehat dan adil bagi perselihan individu. Memahamkan perintah hukum, baik legislatif atau tradisional, sebagai satu petunjuk bagi hakim yang membimbingnya kearah hasi yang adil, tetapi mereka menegaskan bahwa didalam batas yang luas hakim harus bebas dalam memeriksa perkara, supaya dapat dipenuhinya tuntutan keadilan antara pihak-pihak yang berperkara dan menyesuaikannya dengan akal sehat dan kesadaran moral dari orang biasa.
Kekuasaan hakim yang luas akan memberikan keinginan yang tidak lain dari memberikan hasil supaya hakim memperoleh hasil yang adil dalam tiap perkara, dan dapat dicapai dengan mengambil hukum sebagai satu penuntun umum.
Jika hakim harus memilih dalam penyelenggaraan peradilan dimestikan seluruhnya mekanis, atau jika tidak, seluruhnya administrative, maka insting yang sehat dari ahli-ahli hukum pada tingkatan kematangan hukum akan mendorong mereka memilih penyelenggaraan peradilan yang mekanis.
Hakim dalam menjalankan tugas memberikan keadilan, keadilan bersendikan adalah satu akibat dari campur tangan semata-mata bersifat pribadi dalam perkara yang luar bisa atas dasar meminta perhatian ahati nurani hakim equity dalam yang merupakan sumber peradilan yang bersendikan equity.
Dalam sejarah praktek peradilan di Nederland telah membuktikan hal itu. Contoh klasik putusan Hoge Raad Nederland, antara lain putusan tahun 1919 dalam perkara Lindenbaum - Cohen tentang interpretasi ekstensip terhadap makna “recht” pada onrechtmatige daad” pasal 1365 BW yang diperluas sehingga tidak sekedar sebagai melanggar undang undang (onwetmatige daad) melainkan termasuk pula melanggar asas kepatutan dalam kehidupan masyarakat. Putusan Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 menyangkut penerapan dalam perkara “electrische arrest” tentang penggunaan interpretasi ekstensip tentang pengertian benda dalam ketentuan peraturan sehingga tidak semata-mata terbatas benda berwujud melainkan termasuk pula di dalamnya benda yang tidak berwujud. Putusan-putusan tersebut telah menjadi rujukan bagi kegiatan akademik dan praktek hukum di Indonesia hingga saat ini.
BAB III
ESENSI, EKSISTENSI DAN GEJALA
A. ESENSI
Pada bab ini melihat pertanyaan yang sama dari sisi yang berbeda yaitu sisi ontologi atau hakekat hukumnya. Epistomologi dan ontologi mempunyai hubungan yang tertutup dalam filsafat. Pembentuk filsafat membedakannya dari apa yang kita ketahui lebih dari apa yang ada untuk diketahui. Ada keinginan untuk lebih mengetahui dan mengetahui lagi. Dengan demikian cenderung pada kepercayaan, misalnya disebutkan bahwa ada moral yang nyata tapi kita tidak mempunyai cara untuk membuktikannya dan juga berlawanan dengan itu disebutkan bahwa tidak ada moral yang nyata akan tetapi pengetahuan yang objektif sebagai tugas moral adalah mungkin. Mungkin melalui kesepakatan atau melalui konvensi. Pemikiran seperti ini merupakan pemikiran ontologi hukum.
Pada bab ini juga menanyakan apakah yang menjadi objek dari hukum yang sesungguhnya, atau dalam bahasa lain apakah pekerjaan hukum itu dan faktanya hukum dapat digunakan sebagai jalan keluar. Dalam hal ini Posner mengajukan pertanyaan tersebut bukan untuk membuat bingung. Dengan bantuan bermacam-macam contoh, termasuk dengan mencontohkan kejahatan yang sungguh-sungguh, pengakuan yang dipaksa, penemuan fakta hukum, kebiasaan pengadilan dan lebih memperjelas jawaban apakah yang menjadi objek hukum itu. Posner mengemukakan bahwa hukum yang diteliti akan terhalang oleh karakter hukum itu sendiri,sehingga ada pemikiran bahwa hukum itu tidak dapat dibentuk secara objektif bila berhubungan dengan dunia yang sebenarnya dengan hukum. Bagaimanapun objektivitas hukum harus dibingkai dalam budaya yang tidak satu, lebih dari kenyataan metafisika atau kekakuan metodologi. Hukum tidak dapat dibatasi dengan metode tertentu saja. Pada bagian ini ditliskan mengenai pendapat Holmes, Nietszsche dan aliran pragmatis. Holmes menulis tentang hokum kebiasaan yang ditulis beberapa tahun sebelum tulisan tentang Geneologi moral oleh Nietzsche, dan kedua tulisan ini membangun metode yang efektif dari analisis skeptic, yaitu geneologikal. Didalam geneologi Nietzsche mencoba untuk mengartikan status geneologi moral Kristen yang menyebutkan bahwa moral dan kepercayaan merupakan kelompok yang dominan dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain moralitas adalah bersifat relative daripada absolute, faktanya moralitas merupakan pendapat umum.
Hukum merupakan suatu sistem yang dibagi ke dalam norma-norma pemaksaan semaeam itu; esensinya merupakan sebuah tatanan memaksa yang datang dari luar[13].
Hakim merupakan gejala, Esensi dari hakim tersebut adalah kebutuhan bagi masyarakat untuk dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum, Eksistensi dari hakim tersebut merupakan putusan hakim merupakan acuan dalam melakukan kegiatan dalam suatu profesinya tersbeut;
Esensi dan eksistensi manusia sama seperti alam raya, bahwa ketertiban dan kepastian adalah given, tetapi berbeda dari gejala. Dalam hal ini, gejala, memerlukan penguraian yang rinci, bukan dalam arti sifat alamiah, tetapi mengenai keteraturan yang melanjut atau tidak pada kesinambungan, sebagai bagian dari ketertiban/kepastian. Pada keteraturan melanjut atau tidak pada kesinambungan merupakan simpul yang menentukan baik untuk alam raya maupun manusia. Punah alam raya dapat dipelajari dan diduga, sedangkan suatu masyarakat, bangsa atau negara merupakan pemikiran bagaimana keteraturan mau tidak mau melanjut pada kesinambungan, bila tidak mau menjadi punah. Kesinambungan dari keteraturan akan nampak pada perwujudan janji sebagai aturan moral pribadi yang menjadi landasan pergaulan dalam masyarakat.
Paul Scholten dalam karya terkenalnya Algemeen Deel menyebut aktivitas hakim sebagai rechtsverfijning atau proses penghalusan hukum yang pada akhirnya juga terkenal sebagai rechtsvinding alias penemuan hukum. Artinya, di samping hukum positif yang tertulis dan terwadahkan, di bawah institusi kekuasaan manusia, sebenarnya selalu pula ada hukum kodrati yang akan menjadi nilai penguji terakhir. Nilai penguji terakhir yang juga mesti dipertimbangkan hakim dalam putusannya kasus per kasus, kondisi per kondisi.
Peran Hakim esensial sifatnya karena harus melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding). Dengan kata lain, Hakim melalui yurisprudensi mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law). Bagi seorang Hakim, dikenal terminologi “judgment call” dimana diartikan bahwa Hakim harus menentukan satu sikap diantara dua alternatif pertimbangan hukum yang ada dalam pikirannya. Hasil dari pertimbangan tersebut, mungkin saja terjadi suatu putusan mengandung pertimbangan yang bagus sesuai aturan, tetapi menimbulkan hasil yang buruk. Sebaliknya, mungkin juga suatu putusan yang mengandung pertimbangan yang kurang baik, tetapi justru memuaskan masyarakat. Pada akhirnya, bagaimanapun isi putusan suatu perkara, selama Hakim memegang independensinya, maka suatu putusan selalu dapat dipertanggungjawabkan.
Fungsi hakim hanya terletak pada menginterpretasikan suatu ketentuan aturan tertentu yang seluruhnya ekstra-yudisial secara otoritatif melalui proses deduksi yang tepat terhadap isinya yang tersirat secara logis dan secara mekanis menerapkan aturan yang telah ditentukan dan diinterpretasikan[14].
fungsi filsafat hukum adalah menemukan kenyataan hukum yang kekal, tidak akan berubah dan menjadi satu hokum yang sempurna, sehingga Esensi Hukum adalah given yaitu sesuatu yang selesai ditetapkan oleh kekuasaanya sehingga tidak perlu diragukan lagi. Fungsi filsafat hokum mengalami perkembangan oleh para pemikir pada abad 16-19 dimana ada beberapa aliran terkait dengan .filsafat hokum yaitu aliran theology, aliran Metafisik, aliran Natural Law, dan aliran Positivis, Ada 2 kebutuhan yang mendorong pemikiran filsafat tentang hokum:
1. Kepentingan masyarakat yang sangat besar dalam keselamatan umum
2. Tekanan dari kepentingan masyarakat yang kurang langsung, dan kebutuhan akan merukunkannya dengan kebutuhan keamanan umum.
Bahwa eksistensi hukum adalah mempertahankan keadaan aman dan damai dari suatu masyarakat; bahwa essensi hukum adalah menjamin hak azasi dan perlindungan lingkungan hidup dan sumber alam. Perubahan pemikiran dari tujuan hukum merupakan kelanjutan dari pengertian hukum, karena pada awalnya hanya menekankan keinginan (wills) berubah menjadi pemenuhan kehendak (wants) yang bermuatan elemen psikologi, dan menentukan kriteria pada pembuatan peraturan perundang-undangan dan doktrin hukum.
Filsafat menciptakan berpikir secara teoritis dengan pengetahuan yang tersusun secara tertib supaya menemukan keutuhan kebenaran sehingga terwujud pada sikap manusia yang praktis. Olahpikir dengan disiplin berpikir yang ketat menimbulkan aliran-aliran berpikir filsafat yang masing-masing mencari keutuhan kebenaran agar menjadi acuan atau tuntunan untuk kehendak dan sikap manusia. Tetapi acuan demikian bukan merupakan suatu pendapat umum dunia, filsafat memberikan anjuran, menyusun daftar tentang yang berharga dan tidak berharga dalam hidup, sehingga membuat manusia terasa terlindungi oleh pendapat dunian
B. EKSISTENSI
Bodenheimer lebih condong pada pemikiran adanya korelasi antara kepastian dan keadilan. Mengapa demikian[15]
1. agar supaya hukum berfungsi dengan baik harus mengarah pada kepastian dan pada saat yang sama mengimplementasi keadilan, meskipun dalam kenyataan atau secara praktis dua hal itu sulit diterima dan setiap praktisi mengejar yang pertama kepastian, bila tidak berhasil akan mengalihkan kepada keadilan. Inilah menimbulkan inkonsistensi berpikir, seolah-olah hukum menjadi barang dagangan saja.
2. Sudah menjadi suatu dalil bahwa kepastian tidak lepas dari keadilan, misalnya (a) bila bekerja dalam malam hari atau bekerja dibawah permukaan bumi diperlukan cahaya, agar supaya pekerjaannya berlangsung dengan lancar dan mencapai sasaran; kendaraan ermotor dimalam hari menyalakan lampuny demikian juga dalam cuaca alam yang berkabut; (b) menerapkan hukum atau hukuman tidak lepas dari yang telah ditentukan atau disepakati, sehingga tidak dapat dilaksanakan oleh orang atau lembaga yang mempunyai kepentingan tanpa melalui suatu tata cara;
3. Penerapan hukum atau hukuman berlangsung dengan tertib hukum yang menjamin persamaan pelayanan hukum berlangsung dalam persamaan situasi. Persamaan demikian itu tidak akan timbul dengan sendirinya, melainkan dengan menyusun dalil-dalil berdasarkan silogisma untuk merinci mengenai persamaan tersebut, ini merupakan suatu cara supaya penerapan hukum dan hukuman memenuhi kepastian dengan keadilan.
4. Dalam kehidupan manusia dan masyarakat dapat timbul keadaan diluar dugaan, sehingga aturan-aturan yang pernah berlaku menjadi tidak jelas, sehingga menimbulkan stagnasi atau kebuntuan dalam masyarakat dan negara, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan mengarah kepada anarkhi. Ketergantungan keadilan kepada aturan yang berlaku menjadi condition sine quanon, sehingga menjadi lebih jelas bahwa kepastian dengan keadilan bagaikan lembaran uang kertas dengan dua sisi. Pertanyaan yang timbul, apakah yang keadilan itu merupakan keadilan seseorang pemimpin ataukah keadilan social. Dalam suasana ketidakadilan yang mengarah atau tidak kepada anarkhi, maka dipertanyakan adalah yang menciptakan ketidakadilan social yang harus diatasi.
- Dalam hal itu pengadilan harus berjalan untuk menentukan makna ketentuan dan menerapkannya. Tetapi banyak kasus yang tidak sesederhana itu. Lebih dari satu teks yang dapat berlaku; lebih dari satu ketentuan yang mungkin dapat diterapkan, dan para pihak bersaing yang mana akan dijadikan dasar suatu putusan. Dalam keadaan ini beberapa ketentuan harus diinterpretasikan supaya pemilihan yang tepat dapat dilakukan. Seringkali penafsiran murni terhadap ketentuan-ketentuan yang ada menunjukkan bahwa tidak satupun memadai untuk meliputi kasus tersebut dan bahwa pada pokoknya suatu penafsiran yang baru harus diberikan.
Selain itu, ada dua macam keadilan, dikatakan adil adalah (a) penerapannya atau taat hukum, yang dikatakan keadilan oleh hakim terhadap hukum, atau keadilan dinilai oleh hukum positif, sehingga ini bukan keadilan tetapi lebih condong disebut sebagai righteousness; (b) hukum/undang-undang.
Pada butir ini pembahasan ditekankan pada bagaimana keadilan menilai hukum positif yang disebut dengan persamaan (equality). Sama seperti keadilan, maka persamaan mengungkapkan bermacam-macam makna: (a) persamaan sebagai obyek akan dikaitkan dengan benda atau orang: upah dikaitkan dengan nilai pekerjaan sebagai adil, demikian juga hukuman berlaku sama terhadap sesama manusia.(b) persamaan sebagai standar, maka persamaan adalah mutlak atau relatif; upah diterima sesuai dan sama dengan pekerjaan, dan hukuman terhadap siapa saja adalah sebanding dengan kesalahan mereka.
Persamaan sebagai standar telah dibahas oleh Aristoteles, absolute quality antar benda yaitu antara upah dengan pekerjaan, atau antara kerugian dan kompensasi yang disebut komutatif; sedangkan relative equality dalam perlakuan terhadap bermacam-macam orang, misal reward and punishment yang disebut distributive equality.
Lebih lanjut justice dan equity sudah menjadi pembahasan Aristoteles dengan memberikan pemecahan bahwa equity dan justice bukan merupakan nilai (value) yang berbeda, tetapi cara-cara yang berbeda supaya terbentuk kesatuan nilai. Justice mengarah pada kasus individual atau khusus atau tertentu dari sudut pandang norma umum (general norm), lain halnya dengan equity mengarah tiap-tiap kasus individual untuk mencari hukum yang tepat untuk kasus yang dihadapi, meskipun demikian pada akhirnya dengan mudah digolongkan menjadi hukum yang berlaku umum.
Keadilan dengan redaksi dan tekanan lain dikatakan oleh Ulpian, pemikir Romawi, bahwa keadilan bermuatan kehendak tetap dan terus-menerus yang memberikan kepada setiap orang yang merupakan haknya. Pendapatnya, tersirat dari pemikiran Cicero, dan kemudian mempengaruhi banyak sarjana dan terkenal dengan istilah ”suum cuique” (”to each his due”). Istilah tersebut berasumsikan, that two persons to whom the same things are ”due” are entitled to equality of treatment. Lain halnya, Herbert Spencer bahwa keadilan bermuatan freedom, dan bukan equality, yaitu setiap orang berhak memperoleh manfaat dari sifat alamiah dan kemampuannya. Kebebasan dan hak demikian itu dibatasi oleh kesadaran pribadi dan menghormati terhadap tidak merintangi tingkahlaku orang lain yang sama kebebasannya. Kebebasan pribadi hanya dibatasi oleh persamaan ”the equal liberties freedom”. Dengan kata lain, ”Every man is free to do that which he wills, provided he infringes not the equal freedom of any other man”. Immanuel Kant senada pendapatnya dengan Spenser, that liberty was the only original, natural right belonging to each man in his capacity as a human being. Kant melanjutkan pendapatnya bahwa hukum adalah the totality of the conditions under which the arbitrary will of one can coexist with the arbitrary will of another under a general law of freedom.
Selanjutnya Pound menjelaskan postulat hukum dalam masyarakat yang beradab, bahwa dalam masyarakat yang beradab orang-orang harus mampu untuk memperkirakan bahwa mereka dapat mengontrol, untuk tujuan-tujuan kemanfaatan untuk diri mereka sendiri, apa yang telah mereka temukan dan peroleh untuk penggunaan diri mereka sendiri, apa yang telah mereka ciptakan melalui tenaga mereka sendiri, dan apa yang telah mereka peroleh berdasarkan tatanan sosial dan ekonomi yang ada. Menurut Pound, hukum kebendaan/property dalam pengertian yang paling luas, termasuk kebendaan jasmaniah dan doktrin-doktrin yang berkembang mengenai perlindungan hubungan-hubungan yang bermanfaat secara ekonomi, berpengaruh pada keiinginan atau tuntutan sosial yang dirumuskan dalam postulat ini.
Kontrol tersebut menyatakan tujuan alaminya. Namun demikian, beberapa benda tidak ditujukan untuk dikontrol oleh individu, karena akan bertentangan dengan tujuan alaminya. Oleh karena itu, benda-benda tersebut tidak dapa menjadi subjek kepemilikan privat. Benda-benda yang demikian disebut dengan res extra commercium. Benda-benda tersebut dapat dikecualikan dari kepemilikan individu dengan salah satu dari tiga cara. Mungkin bahwa dari hakikatnya benda-benda tersebut hanya dapat digunakan, bukan dimiliki, dan dari hakikatnya benda-benda itu sesuai untuk penggunaan umum. Benda-benda ini disebut res communes. Atau bahwa benda-benda itu dibuat untuk atau dari hakikatnya benda-benda itu sesuai untuk penggunaan publik, yaitu, penggunaan untuk tujuan-tujuan publik melalui fungsionaris-fungsionaris publik atau oleh komunitas politik. Ini yang disebut dengan res publicae. Di samping itu dapat juga karena benda-benda tersebut ditujukan untuk tujuan-tujuan keagamaan atau diabdikan melalui tindakan-tindakan keagamaan yang tidak sesuai dengan kepemilikan privat. Benda-benda tersebut adalah res sanctae, res sacrae, dan res religiose. Pada hukum modern, sebagai akibat dari kebingungan abad pertengahan mengenai kekuasaan pemerintah untuk mengatur penggunaan bendan-benda (imperium) degan kepemilikan (dominium) dan mengenai gagasan personalitas perusahaan terhadap negara, timbul kategori kedua properti yaitu properti/kebendaan dari perusahaan-perusahaan publik. negara sebagai perusahaan tidak memiliki sungai sebagaimana negara memiliki perabotan di istana negara..
Neo-tradisionalisme maka seseorang harus mengerti perubahan pemikiran akademik tentang hukum yang dimulai sejak awal tahun 1960. Perubahan ini dimulai sejak tahun 1962 dimana hukum dipandang sebagai disiplin ilmu yang otonom. Perkembangan sejak tahun 1960 ini membantu menerangkan dan mendorong perkembangan konsep hukum sehingga banyak menghasilkan konsep hukum baru misalnya mengenai kepailitan.
Selanjutnya Neo-tradisionalisme tidak lebih hanya sekedar menunjukkan suatu model antar disiplin ilmu yang dapat diterima sebagai suatu alternative. Akhir bagian ini beliau mengusulkan suatu pemaparan dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum yang bersifat pragmatis.
Interpretasi terhadap aturan yang menjadi hal yang sangat penting, setiap kata memiliki arti yang harus ditafsirkan dengan tepat sehingga tidak terjadi kesalahan penafsiran. Eksistensi dan determinasi aturan yang telah berlaku dalam masyarakat juga harus diperhatikan karena aturan yang juga mengatur banyak hal dan telah disepakati untuk berlaku dalam masyarakat, namun perlu disesuaikan dengan kepentingan umum yang lebih luas dan bukan hanya kepentingan masyarakat itu sendiri.
Penafsiran terhadap aturan. Bukan saja aturan yang akan dibuat, tetapi juga aturan yang berlaku secara khusus dalam suatu masyarakat yang menciptakan kesenjangan dengan aturan yang akan dibuat. Namun pada akhirnya menuju pada suatu kesimpulan bahwa interpretasi bertujuan untuk menyelesaikan, tetapi harus memberikan perhatian pada metode dan alasannya, kemudian ditampakkan pada penafsiran itu sendiri. Maka hakim berwenang menyelesaikan sengketa yang tidak diatur dalam aturan manapun, pendekatan yang paling mudah untuk hakim adalah dengan menggunakan penalaran moral biasa, dilengkapi dengan penalaran empiris biasa, untuk mencapai hasil terbaik. Sehingga dengan bebas hakim menggunakan penalaran moral yang ada dalam dirinya untuk memutuskan suatu sengketa, dengan harapan bahwa putusan yang dibuat memberikan hasil yang memuaskan.
Jika menggunakan penalaran analogi karena ketiadaan aturan, maka menurut pendapat Scott Brewer dapat dijadikan dasar karena menurut Brewer, penalaran analogis sebagai suatu proses seperti keseimbangan refkelsi, kecuali putusan sebelumnya berdiri di tempat moral sebagai sumber prinsip putusan tentative. Penalaran analogi bukan hanya sekedar mengurangi jumlah aturan kanonik. Sebaliknya, menggabungkan deduksi dengan " abduction " - langkah kritis di mana hakim menarik dari keputusan sebelum aturan penjamin analogi yang menangkap kemiripan dan perbedaan deduksi dan “abduction”
Prinsip hukum merupakan norma yang ideal dari The Result Model, karena hakim dalam kasus yang sama tidak bebas untuk memutuskan di luar yang diputuskan sebelumnya. Mengenai aturan-aturan hukum, standar-standar dan prinsip-prinsip hukum. Aturan-aturan merupakan norma hukum yang formal dan setiap tahap pembahsannya melalui mekanisme. Ini berbeda dengan standar, karena standar dapat bersifat flaksibel. Perbedaan antara prinsip hukum dengan aturan hukum adalah pada kedua titik dasar terhadap keputusan tertentu tentang kewajiban hukum dalam keadaan tertentu, tetapi keduanya berbeda dalam karakter dari arahnya keduanya. Aturan dapat diterapkan dalam semua atau tidak ada bentuk. Sementara dalam kondisi tertentu prinsip hukum tidak dapat diterapkan sebagaimana aturan hukum.
Aturan pelaksanaan dari peran hakim adalah hakim mengaplikasikan hukum dalam resolusi perselisihan. Dalam menetapkan peran hakin ,seseorang yang menyelesaikan sebuah perselisihan seharusnya menyelesaikannya dengan sebuah cara yang ditentukan oleh hukum yang dimuat dalam perselisihan. mudah mengatakan sudah selesai. Ketika hukum sejelas dan sesegar batas kecepatan Undang-Undang, faktanya sepenuhnya sederhana, kasusnya mudah, tapi kasus-kasus seringnya berat. Mengambil sisi kesulitan yang muncul dari kekurangan kejelasan kenyataan mengenai apa yang terjadi, kesulitan yang jelas mengenai penemuan hukum yang relevan. Sesuatu yang secara resmi cukup memutuskan sebuah kasus dan menginterpretasikan hukum yang relevan tersebut.
Perbedaan antara legislator dan judge (hakim) adalah perbedaan antar pembuat aturan dan penerap aturan. Legislator membuat sejumlah aturan untuk menuntun masyarakat; hakim menerapkan aturan pada kasus hukum. Kita harus mengingat bahwa legislator tidak menyediakan semua aturan yang akan diterapkan hakim dalam kasusnya; tidak juga saat Hart menyebutkan aturan kewajiban adalah hasil pemikiran legislasi. Beberapa aturan semacam itu mungkin diambil dalam sistem norma resmi sesuai pemahaman peradilan. Dan hakim mengambil satu dari pemahaman aturan dan penerapannya untuk disertakan dalam keputusan hakim pada kasus yang ada - ini adalah doktrin stare decisis yaitu bahwa keputusan awal harus bertahan.
Apakah yang dimaksud dengan untuk menerapkan serangkaian aturan pada suatu kasus? Jika saya harus membuat keputusan dalam sebuah situasi – katakanlah saya harus memutuskan apakah si tergugat bebas dari tanggung jawab atau harus membayar akibat kerusakan yang ditimbulkan pada penggugat – apa yang akan membuat keputusan saya sebagai hasil applikasi serangkaian aturan pada kasus yang sedang saya tangani? Tentu tidak dengan melihat buku panduan, melihatnya dengan seksama lalu memutuskan sesuatu. Ketika saya membaca buku itu bukan berarti hal itulah yang mempengaruhi keputusan saya. Saya mungkin hanya melihat-lihat saja tanpa mengerti buku itu. Bahkan jika saya memahami aturan itu, bukan berarti ia menjadi dasar keputusan saya. Jika apa yang saya baca dan mengerti merupakan dasar keputusan saya, tidak ada yang dapat mengatakan bahwa keputusan saya merupakan hasil penerapan pada kasus yang saya tangani. Yang penting adalah peranan seorang hakim yang mengambil keputusan berdasarkan hukum.
Sebuah sekolah yang telah mengilhami hal-hal dimana hukum gagal memberikan keputusan adalah realisme Amerika. Para realis diawal abad dua puluh berpegang pada pandangan berbeda pada masalah politik masa itu, dan tersatukan dengan pandangan bahwa murid sekolah hukum harus kurang idealis tapi lebih realistis tentang bagaimana mengambil sebuah keputusan. Apakah yang menjadi dasar pandangan ini? Pendapat yang realistik bahwa hukum tidak dihitung secara masal, ada varietas yang besar mengenai pola dimana hukum gagal membuat suatu keputusan dan begitu pula keputusan hakim dalam kasus semacam ini harus mencapai lebih jauh lagi dasar dari penerapan aturan.
Para Ahli adalah bahwa sumber hukum itu tidak menjelaskan dirinya sendiri dan standar penjelasannya adalah perlakuan yang sama sesuai apa yang sudah dilakukan namun tidak cukup untuk menentukan pendapat sesungguhnya yang timbul. Kita akan melihat bagaimana seharusnya kita merespon klaim para realis, jika itu benar, tapi ingatlah bagaimana pernyataan ini dapat menggagalkan pengertian kita pada peranan hakim.
Realisme Amerika memiliki masa kejayaannya pada awal abad kedua puluh sedangkan pada beberapa dekade belakangan ini terdapat kebangkitan bertema realis dengan nama pembelajaran kritis. Pembelajaran ini adalah pergerakam kritikal yang menuai banyak pertanyaan mengenai berbagai macam keyakinan dan pengajaran hukum. Para kritisi menggunakan pandangan mereka untuk memimpin pada sebuah kesimpulan yang bisa kita bingkai dalam term peranan legislator dan hakim dimana tidak ada garis yang jelas antara peranan legislator sebagai pembuat aturan (politik) dan peranan hakim sebagai penerap aturan (hukum).
Peran hakim untuk meningkatkan kualitas putusan dalam mewujudkan law and legal reform pada dasarnya sudah merupakan masalah yang sangat aktual dewasa ini. Hal tersebut terkait dengan realitas sejarah bahwa Republik Indonesia yang memperoleh kemerdekaan pasca berakhirnya Perang Dunia II dan telah memberlakukan kembali berbagai ketentuan kolonia. Hal tersebut dapat dipandang sebagai pilihan paling pragmatis dalam rangka untuk segera mengatasi kekosongan hukum (rechtsvacuum) sebagai akibat terjadinya transformasi kekuasaan politik dan kekuasaan dari tangan pemerintah kolonial ke pemerintah baru, Republik Indonesia, yang kesemuanya berlangsung begitu cepat dan tidak terduga sebelumnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak pernah dipersiapkan jauh hari sebelumnya bahwa kelak kemerdekaan Indonesia akan diproklamasikan pada tanggal 17/8/1945. Pemilihan tanggal tersebut semata-mata “just only the special moment in Indonesian history” dengan memanfaatkan momentum terjadinya “vacuum of power” akibat menyerahnya Balatentera Jepang kepada Tentara Sekutu, pasca dijatuhkannya bom atom Nagasaki dan Hiroshima sekaligus mengakhiri Perang Dunia ke II di kawasan Asia Pasific.
C. GEJALA
Hukum merupakan pusat konsep dari pemikiran untuk para filosofer hukum. Sekarang, jika seorang filosofer memberikan sebuah analisa dari sebuah konsep – apakah itu konsep hukum, atau ilmu pengetahuan, atau sebab, atau kebaikan terdapat dua sumber informasi yang mereka harus percayai, kedua hal, inspirasi dalam memberikan analisa mereka dan pembetulan jika terdapat kesalahan pada analisa-analisa sebelumnya. Ketika seorang memberikan analisa mengenai sebuah konsep, hal itu haruslah saling mendukung, dan dalam beberapa hal yang tergabung dan terorganisir, tempat umum yang membahas tentang permasalahan tersebut[16].
Aturan pelaksanaan dari peran hakim adalah hakim mengaplikasikan hukum dalam resolusi perselisihan. Dalam menetapkan peran hakin ,seseorang yang menyelesaikan sebuah perselisihan seharusnya menyelesaikannya dengan sebuah cara yang ditentukan oleh hukum yang dimuat dalam perselisihan tersebut.
Mudah mengatakan sudah selesai. Ketika hukum sejelas dan sesegar batas kecepatan ketentuan, faktanya sepenuhnya sederhana, kasusnya mudah, tapi kasus-kasus seringnya berat. Mengambil sisi kesulitan yang muncul dari kekurangan kejelasan kenyataan mengenai apa yang terjadi, kesulitan yang jelas mengenai penemuan hukum yang relevan. Sesuatu yang secara resmi cukup memutuskan sebuah kasus dan menginterpretasikan hukum yang relevan tersebut.
Semua hakim setuju bahwa mengurus isi dari ketentuan atau atiran sangat riskan: kata-kata yang dipakai, dan kenyataan yang diambil kedalam hukum oleh badan pembuat aturan yang relevan. Tidak ada satupun yang menyarankan menolak isi aturan dan semua hakim setuju bahwa isinya mempunya arti tersendiri dalam konteksnya. Pandangan yang dapat dimengerti ada tiga hal: yang pertama adalah setiap orang mengambil konteks tertentu dari pengertian isinya untuk menikmati keunggulan. Pandangan sebagai penyusun membuatnya menggunakan konteks legislator menjadi sebuah dasar dengan menghasilkan sistem yang resmi; yang kedua adalah ketika konteks ini dapat diberi label sebagai konteks legislator dan konteks warga Negara, sangatlah jelas bahwa mereka memasuki beberapa tingkatan dimana keadaan membuat para legislator memilih bagaimana membuat garis besar isi aturan; yang ketiga, ketika konteks ini bergabung satu sama lain, mereka menetapkan dengan jelas, sepanjang legislator kurang memahami bagaimana warga Negara melakukan berbagai pendekat formula dari isi aturan tersebut. Hakim berhak untuk membuat keputusan yang sepenuhnya objektif untuk mereka yang menaati hakim.
Dalam kedua sisi keputusan yang diambil mungkin tidak dibatasi oleh aturan sebelumnya dan merupakan hasil pertimbangan legislator/ hakim sendiri. Legislator dipilih oleh rakyat, entah konsepsi penyusunan aturan yang dianut adalah bertujuan mewakili dengan baik atau tidak. Hakim, sebaliknya, ditunjuk (bukannya dipilih) dan sering untuk waktu yang lama. Jika kita berpikir bahwa legislator harusnya tidak kebal terhadap tekanan moral dan politik, lalu mengapa hakim tidak dikenakan tekanan yang sama? Mungkin lebih tepat jika kita bandingkan legislator dengan birokrat yang merupakan pegawai pemerintah dan sama-sama mengembangkan kebijakan sesuai tanggungjawab yang diberikan.
Pernyataaan yang paling kuat yang dapat dibuat atas nama pemerintah dibawah kondisi yang tidak dihitung hanya berdasarkan kebutuhan seseorang: kita perlu memiliki keputusan yang mengikat ketika ada ketidaksetujuan diantara kedua kubu; bergantung pada usaha mereka untuk menyelesaikan masalah adalah sia-sia; sehingga kita harus lebih mengijinkan mereka yang ahli hukum untuk membuat keputusan sejauh masih relevan dan dapat melatih sikap hati hati dalam kasus semacam ini. Kita juga harus mengingat bahwa tidak jelas bagaimana merusaknya sebuah kritik pada keputusan namun biasanya timbul dalam dua pernyataan; pertama sumber legal dengan tertulis dari interpretasi resmi meninggalkan ukuran yang besar dalam keputusan hukum; kedua, bahwa pada hal tertentu tidak dapat diukur sehingga tidak dapat diperkirakan karena hanya berupa pemahaman moral dan politik dari hakim yang harus dibayangkan oleh para kritisi adalah sesuatu yang penting bagi kondisi manusia dan bukannya mengambil perbandingan dunia manusia dengan para pelanggar hukum agar relevan dalam usaha kita untuk mengerti dunia peradilan yang legal.
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya Negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut.
1. Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
2. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesame manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia
wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
4. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
5. Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas
Akibatnya, kemerdekaan Indonesia ketika itu tidak disertai dengan kesiapan matang dalam menciptakan segenap aturan hukumnya sendiri untuk menggantikan segenap aturan hukum kolonial yang pernah berlaku pada masa pra kemerdekaan yang kelak disiapkan sebagai pengganti terhadap seluruh aturan kolonial yang berhenti berlaku. Upaya pembaharuan hukum melalui penggantian perundang-undangan eks kolonial hingga kini belum tuntas. Meskipun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) telah menetapkan sejumlah prioritas rencana pembaharuan undang undangi. Namun karena berbagai kompleksitas dan kendala politik yang rumit serta masalah waktu dan biaya yang tidak sedikit. Padahal begitu pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pengaruh globalisasi, berkembangnya tuntutan keadilan, serta dinamika politik, sosial dan ekonomi, semakin meningkatkan tentang pentingnya upaya pembaharuan hukum.
Dalam situasi demikian, pembaharuan hukum melalui proses judisial menjadi pilihan paling mungkin. Kalangan Hakim, terutama Hakim Agung, seharusnya dapat memainkan perannya lebih signifikan dengan melakukan pembaharuan hukum melalui penemuan hukum (rechtsvinding), pembentukan hukum (rechtsvorming), maupun penciptaan hukum (rechtsschepping).
Perbincangan tentang bagaimana peran hakim sebagai agent of change telah menjadi isu sentral di negara-negara berkembang yang merdeka pasca berakhirnya Perang Dunia II. Kemerdekaan politik digunakan sebagai entry point untuk memperbaharui segala sesuatu yang berbau kolonial, termasuk pembaharuan hukum yang sebagian besar diantaranya memang berasal dari masa kolonial. Pembaharuan hukum melalui pembentukan perundang-undangan baru dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional melalui proses legislatif tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Lembaga legislatif selain menghadapi kompleksitas politik internal maupun eksternal, juga dihadapkan pada pilihan sulit antara keinginan mengganti perundang-undangan eks kolonial, di pihak lain membuat perundang-undangan baru sesuai kebutuhan pragmatis dan aktual dirasakan sudah semakin mendesak.
Berkenaan dengan hal tersebut, perlu sejenak menengok kembali paradigma paham legisme. Karena tanpa membandingkan secara diametral dengan paham legisme, maka sulit memahami bagaimana seharusnya peran hakim sebagai agent of change. Secara konseptual, peran hakim sebagai agent of change tidak dikenal dalam paham legisme. Peran hakim merupakan derivasi dari teori atau paham hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat (law as tool of social development) sebagaimana dikembangkan oleh school of sociological jurisprudence. Dimana hakim melelui putusannya turut berperan aktif dalam pembentukan hukum hukum sehingga putusannya menjadi sumber hukum penting bagi praktek peradilan. Paradigma paham legisme (abad XIX) mengandaikan bahwa undang undang sebagai satu-satunya sumber hukum yang lengkap disertai doktrin bahwa hakim sebagai corong undang-undang ( “spreekbuis van de wet”/Belanda, “bousche de la loi”/Perancis, “the mouth of the laws”/Inggris). Paham kodifikasi bertolak dari asumsi bahwa para legislator mampu mengatur semua persoalan masyarakat. Hakim menggunakan kodifikasi sebagai satu-satunya sumber hukum. John Austin mengatakan hukum bersumber dari otoritas kekuasaan negara (law is command of law giver).[17] Perbuatan menyimpangi undang-undang dipandang sebagai pelanggaran hukum. Penggunaan sumber hukum di luar kodifikasi dipandang melanggar kepastian hukum. Hans Kelsen dengan teori “the pure theory of law” bahkan berusaha memurnikan undang-undang dari anasir non hukum, seperti moral dan keadilan. Dalam perkembangannya, awal abad XX, paham legisme mulai ditanggalkan. Dalam kenyataan empiris terbukti bahwa undang undang, termasuk kodifikasi, tidak pernah lengkap mengatur semua persoalan masyarakat.[18]
Bagaimanapun lengkapnya suatu undang-undang, bahkan kodifikasi, selalu saja memiliki keterbatasan menyangkut waktu (berlakunya), tempat (berlakunya) dan substansi (pengaturannya). Terjadinya ketimpangan antara dinamika percepatan perubahan sosial dengan kemampuan legislator melakukan pembaharuan undang undang. Suatu undang-undang diciptakan sesuai arus utama nilai-nilai dan visi politik legislator pada jamanya, sehingga pada dasarnya suatu undang-undang merefleksikan kontekstualitas politik pada jamannya.
Padahal berlakunya hukum tidak lagi dipahami hanya bersumber dari otoritas penguasa (top down), melainkan juga yang tumbuh dari masyarakat meskipun dalam wujudnya yang tidak tertulis (bottom up). Hakim dapat berperan sebagai agent of change dalam melakukan pembaharuan hukum melalui putusannya. Melalui penemuan hukum (rechtsvinding), pembentukan hukum (rechtsvorming), bahkan melakukan penciptaan hukum (rechtsschepping). Nilai dasar dan validitas hukum tidak lagi semata-mata diukur berdasarkan kepastian hukum (validitas juridis), melainkan secara simultan juga berdasarkan rasa keadilan (validitas filosofis) serta kemanfaatan bagi masyarakat (validitas sosiologis). Mewujudkan ketiga nilai dasar dan validitas tersebut secara simultan secara jujur harus diakui tidaklah mudah, karena terdapat sifat antinomi diantara masing-masing nilai dasar tersebut antara satu dengan yang lain.
Memudarnya pengaruh paham legisme juga diakibatkan pengaruh historical jurisprudence (Carl Frederich von Savigny)[19] dan paham sociological jurisprudence (Roscoe Pound) yang banyak mewarnai pemikiran akademisi dan praktisi hukum. Kajian-kajian akademis tidak lagi dipusatkan pada kajian legal positivistik melainkan juga riset terhadap perkembangan hukum hukum yang hidup (living law) serta dinamika sosial hukum. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi, diharapkan melalui melalui putusannya mampu secara aktif dan progresip berperan sebagai agent of change untuk mewujudkan law and legal reform. Hakim Agung, maupun hakim umumnya, seharusnya juga dapat melakukan hermeneutika hukum dengan menggali apa “ratio filosofis” serta “ratio legis” yang terkandung dibalik rumusan tekstual suatu undang undang.
Hal itu terkait doktrin Ius Curia Novit yang mengandung makna dan konsekuensi bahwa setiap hakim dianggap tahu tentang hukumnya dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Doktrin tersebut meskipun sangat assumtif sifatnya, namun sesungguhnya terkandung tanggungjawab yang sangat besar di pundak hakim terkait dengan kewenangannya dalam memutus suatu perkara. Makna “hukum” yang dimaksud sudah barang tentu bukanlah terbatas hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan, melainkan “hukum” dalam maknanya yang luas, meliputi pula asas-asas hukum, hukum tidak tertulis, perjanjian-perjanjian, jurisprudensi dan berbagai sumber hukum lainnya. Wawasan pengetahuan dan pemahaman hakim tentang berbagai sumber hukum dituntut komprehensip. Karena acapkali perkara yang diajukan kepadanya oleh pencari keadilan tidak terduga, dalam pengertian menyangkut suatu perkara yang belum pernah dijumpai, belum pernah ada contoh kasus putusannya, atau memang samasekali tidak ada pengaturan hukumnya.
Titik sentral penegakan hukum berada di pengadilan. Penegakan hukum di pengadilan berawal dari diajukannya perkara yang bersangkutan ke pengadilan oleh pihak berperkara sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang berlaku. Penunjukan majelis hakim oleh Ketua Pengadilan yang kemudian ditindaklanjuti dengan pemanggilan terhadap pihak berperkara agar hadir dalam sidang sidang yang jadwalnya telah ditentukan. Hakim berkewajiban memperlakukan dan memberikan kesempatan yang sama (asas audi et alteram partem) kepada semua pihak berperkara, baik dalam mengajukan dalil, argumentasi, tuntutan, jawab jinawab, pembuktian dan sebagainya sesuai prosedur acara yang berlaku. Selama proses persidangan, tentunya hakim dituntut memiliki fokus dan konsentrasi yang tinggi terhadap masing-masing perkara yang ditanganinya agar tidak terjadi bias pemahaman atas perkara yang bersangkutan. Harus diakui memang, bahwa hal ini tidak mudah, terutama bagi hakim yang bertugas di lembaga peradilan tingkat pertama, terutama di kota besar, dimana intensitas perkara dan persidangan begitu rupa banyaknya, sedangkan jumlah hakim kadang sangat terbatas, sehingga menjadikan beban hakim semakin berat sehingga fokus dan konsentrasi hakim terbagi bagi terhadap semua perkara. Karena itu, kualitas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan hakim untuk menggali fakta dan informasi terhadap pihak berperkara maupun saksi menjadi sangat penting untuk meningkatkan pemahaman substansi perkara. Demikian juga mencermati pertanyaan yang diajukan oleh masing masing pihak perkara antara satu dengan yang lain. Pembagian beban pembuktian serta penilaian terhadap alat bukti akan semakin meningkatkan pemahaman hakim terhadap substansi perkara. Tak kalah pentingnya adalah pencatatan dengan baik dan lengkap terhadap semua keterangan dan jalannya proses persidangan ke dalam berita acara persidangan yang dijalankan oleh panitera pengganti yang memiliki integritas, kompetensi, pengalaman serta profesionalitas yang tinggi, oleh karena hal itu nantinya yang akan menjadi dasar bagi hakim ketika hendak merumuskan putusannya, termasuk bagi hakim tingkat banding dan kasasi.
Keseluruhan jalannya proses peradilan pada akhirnya akan bermuara pada penjatuhan putusan oleh hakim. Dalam proses perumusan putusan itulah menjadi persoalan yang sangat penting merupakan proses legal reasoning dalam merumuskan apa yang menjadi isu hukum utama atau esensi pokok dalam perkara tersebut, karena atas dasar itulah selanjutnya hakim menentukan bagian yang terpenting dalam putusan pengadilan yaitu ratio decendi. Ratio decidendi merefleksikan analisis kritis terhadap substansi perkara, pandangan filsafat hukum, paham atau teori hukum yang dirujuk, interpretasi norma, serta dasar hukum yang digunakan sebagai dasar putusan. Dalam ketentuan tersebut, hakim secara imperatif diharuskan untuk memuat alasan dan dasar hukum yang digunakan dalam putusanya. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa apabila sesuatu putusan hakim tanpa disertai dengan alasan dan dasar putusan, baik berupa peraturan perundangan-undangan maupun hukum tidak tertulis yang digunakan sebagai dasar mengadili, maka putusan yang demikian itu dapat dikategorikan sebagai putusan yang tidak disertai dengan pertimbangan yang cukup (onvoldoende gemotiveed) serta bertentangan dengan perintah undang undang. Ratio decidendi merupakan landasan bagi amar atau diktum putusan. Amar atau diktum putusan yang tidak disertai dengan alasan dan pertimbangan kuat dan mendasar akan dinilai sebagai putusan yang bersifat onvoldoende gemotiveerd (tidak disertai pertimbangan yang cukup).
Kualitas suatu putusan hakim serta tingkat kecerdasan dan intelektualitas hakim akan direfleksikan, sekaligus dipertaruhkan, pada ratio decidendi. Penalaran hukum (legal reasoning) serta perumusan argumentasi hukum (legal argumentation) dalam proses perumusan putusan, akan menggambarkan bagaimana kesungguhan dan kecermatan majelis hakim ketika hendak menentukan isi putusannya. Proses perumusan putusan hakim bukanlah sekedar “syllogisme formal” yakni sekedar persoalan mencari kesesuaian antara rumusan kaidah hukum dengan fakta persidangan. Melainkan merupakan proses ijtihad dan pergulatan batin sekaligus dialog spiritual transendental antara hakim dengan Tuhannya tentang putusan yang bagaimana yang seharusnya akan dijatuhkannya. Dalam proses demikian diharapkan terjadi pencerahan batin bagi hakim yang bersangkutan.
Mengingat melalui putusan hakimlah akan ditentukan bagaimana kelak “merah-biru”nya nasib pencari keadilan. Ibaratnya, “mulut”, “mata”, “telinga” dan “hati nurani” hakim musti dibuka lebar agar lebih arif, lebih bijaksana, ketika hendak menjatuhkan putusannya. Seorang hakim yang baik, yang berpandangan visioner progresip, kiranya mampu memprediksi, sekaligus meminimalisasi, berbagai dampak yang mungkin timbul dari putusan yang dijatuhkannya. Putusan hakim yang baik, sudah barang tentu idealnya mampu menyelesaikan dengan baik masalah yang dihadapi oleh pencari keadilan dan bukannya menjadi sumber atau bagian dari masalah, serta menciptakan masalah baru yang lebih rumit lagi, yang justru akan berdampak pada penurunan kepercayaan (distrust) terhadap lembaga peradilan.
Moralitas, integritas serta intelektualitas hakim dalam putusannya harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi falsafah hukum, ilmu hukum, teori hukum, dogmatika hukum, etik dan moralitas hukum. Putusan pengadilan yang berkualitas selalu terlahir dari proses yang berlangsung secara demokratis, jujur, obyektif serta dilakukan oleh figur figur hakim yang memiliki kompetensi, integritas, komitmen dan moralitas yang tinggi. Maksud daripada frasa berlangsung secara demokratis adalah memberikan hak dan kesempatan yang sama terhadap semua hakim anggota untuk mengemukakan pendapat dan pendiriannya ketika dalam proses merumuskan pertimbangan maupun diktum putusan.
Tanpa perlu ada yang merasa dirinya sebagai “primus inter pares” antara satu hakim dengan hakim yang lain. Antara hakim senior terhadap hakim junior, atau ketua majelis terhadap anggota majelis. Ketua majelis hakim hanyalah berperan sebagai pimpinan sidang, namun itu tidaklah berarti bahwa ia yang memonopoli dan menentukan seluruhnya isi putusan. Kiranya harus terdapat sikap saling menghargai pandangan ataupun perbedaan pandangan yang mungkin timbul diantara masing-masing anggota majelis hakim ketika merumuskan isi putusan. Karena pada hakekatnya hak dan kedudukan diantara masing masing anggota majelis hakim dalam menentukan isi putusan adalah sama.
Perdebatan dan pergulatan pemikiran maupun argumentasi diantara ketua maupun anggota majelis hakim haruslah dipahami sebagai mekanisme lumrah yang memang demikian seharusnya dijalankan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas putusan. Samasekali tidak boleh terjadi timbulnya perasaan “ewuh pakewuh” dari anggota majelis hakim dengan ketua majelis hakim yang notabene lebih senior, bilamana terjadi perbedaan pendirian sedemikian kerasnya sehingga proses pengambilan keputusan terpaksa harus dilakukan dengan cara pemungutan suara terbanyak, karena kemungkinan terjadinya “dissenting opinions” merupakan hal yang lumrah dan dibolehkan undang undang. Proses penjatuhan putusan juga tidak boleh dilakukan dengan sikap dangkal, semau gue, dan tidak bertanggungjawab, yaitu hanya “pasrah bongkokan” dari anggota majelis hakim kepada ketua majelis hakim.
Untuk menjaga sekaligus menguji kualitas sesuatu putusan, perlu kiranya dikembangkan tradisi anotasi dan eksaminasi putusan pengadilan oleh kalangan komunitas hukum (law community). Putusan Hakim yang bernilai sebagai landmark decision kiranya akan dapat menjadi sumber hukum penting bagi praktek peradilan. Putusan Hakim yang bersifat progressip dan antisipatif mampu memberikan pencerahan terhadap substansi hukum, berlakunya norma hukum, maupun pemenuhan tuntutan keadilan masyarakat (social justice). Law in abstracto di-ejahwantah-kan menjadi law in concreto melalui putusan pengadilan sebagai “jembatan penghubungnya”.
Keadilan dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan olehpembuat undang-undang, distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip kesamaan proporsiona!.Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas milik nya yang hilang.
Teori keadilan Rawls yang disebut prinsip-prinsip pertarna keadilan itu ,beli olak dari sua tu konsep keadi lan yang lebih umum yang dirumuskannya sebagai berikut: All social values -- liberty and opportunity, income and wealth, and the bases ofself-respect-rare to be distributed equally unless andunequal distribution of any, or all, of these values is to everyone 's advantage[20]
Ada dua hal yang penting dapat dicatat sehubungan dengan konsep" keadilan umum tersebut. Pertama, kebebasan ditempatkan sejajar dengan nilai-nilai lainnya, dan dengan itu juga konsep umum keadilan tidak memberi tempat istimewa terhadap kebebasan. Hal ini berbeda dengan konsep keadilan Rawls yang berakar pada prinsip hak dan bukan pada prinsip manfaat. Kedua, keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama; keadilan tidak selalu berarti semua orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan penting yang secara objektif ada pad a setiap individu; ketidaksamaan dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asalkan kebijakan itu ditempuh demi menjamin dan mernbawa manfaat bagi semua orang. Rawls memberikan tempat dan menghargai hak setiap orang untuk menikmati suatu hidup yang layak sebagai manusia, termasuk mereka yang paling tidak beruntung. Berlandaskan dari prinsip umum tersebut di atas , Rawls merumuskan kedua prinsip keadilan sebagai berikut: First, each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with similar liberty for others; Second, social and economic inequlities are to be range so that they are both (a) reasonable expected to be to every one's advantage, and (b) attached to positions and offices open to all
Menurut Rawls, kekuatan dalam keadilan dalam arti Fairness justru terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus member prioritas pada kebebasan. Ini merupakan dua tun tutan dasar yang dipenuhi dan dengan demikian juga membedakan secara tegas konsep keadilan sebagai Fairness dari teori-teori yang dirumuskan dalam napas intuisionisme dalam cakrawala teologis. Untuk terjaminnya efektivitas dari kedua prinsip keadilan itu, Rawls menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam suatu tatanan yang disebutnya serial order. Dengan pengaturan seperti itu, Rawls menegaskan bahwa hak-hak serta kebebasan-kebebasan dasar tidak dapat ditukar dengan keuntungan sosial dan ekonomis. Ini berarti prinsip keadilan yang kedua hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan apabila prinsip keadilan yang pertama telah dipenuhi. Artinya penerapan dan pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan dengan prinsip keadilan yang pertama. Dengan demikian hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar dalam konsep keadilan memiliki priroritas utama atas keuntungan sosial dan ekonomis.
Tujuan akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling coeok dan sesuai dengan prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lag i dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan
Dalam rangka peningkatan kualitas putusan, maka para hakim, termasuk Hakim Agung perlu kiranya melakukan ”intelectual and technical recharging” secara berkelanjutan dengan meng-update pengetahuan dan pemahamannya tentang aspek fundamental serta dinamika pemikiran dalam filsafat hukum, ilmu hukum, asas hukum, teori hukum, sumber sumber hukum, maupun praktek hukum melalui berbagai referensi yang tersedia begitu banyak. Hal tersebut diharapkan nantinya berdampak pada peningkatan kompetensi, kualitas, kapasitas, dan kapabilitas hakim yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas putusannya. Selain referensi berupa “text books”, tidak kalah pentingnya referensi sosial yang diperoleh dengan cara terus menggali, mendalami dinamika nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Simultan dengan upaya tersebut, tidak kalah pentingnya adalah secara terus menerus melakukan upaya ”spiritual recharging”, ”moral recharging”, ”mental recharging” serta berbagai ”recharging” yang bermanka positip dalam rangka meningkatkan integritas, moralitas, kualitas, kompetensi, pengalaman, serta yang lainnya. Diharapkan dalam jangka panjang akan terbentuk jati diri seorang Hakim ideal yang setiap putusannya dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi falsafat hukum, ilmu hukum, asas hukum, teori hukum, dogmatik hukum, serta selaras irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Hakim memiliki peran signifikansi dengan upaya untuk mewujudkan “law and legal reform”. Suatu jurisprudensi Mahkamah Agung yang bernilai sebagai “landmark decision” dalam prakteknya cenderung akan diikuti secara konsisten oleh pengadilan lainnya, sehingga diharapkan lambat laun akhirnya akan menjadi suatu jurisprudensi tetap.
Proses menciptakan hukum merupakan proses kreatif intelektual hakim. Pembaharuan hukum melalui penciptaan hukum (rechtsschepping) terutama disebabkankarena terjadinya kekosongan hukum. Kalangan Hakim, terutama Hakim Agung, seharusnya bukan sekedar menjalankan rutinitas kewenangan yang diberikan oleh undang undang. Juga bukan sekedar menjadi penjaga status quo dan selalu bersikap resisten terhadap dinamika perubahan sosial maupun pembaharuan hukum. Dalam perannya sebagai agent of change, kalangan Hakim seharusnya memiliki sikap dan keberanian untuk mengambil putusan yang bersifat visioner serta progresip futuristik dan antisipatif. Termasuk bilamana dipandang perlu melakukan contra legem terhadap undang undang yang tujuan dan substansinya dinilai sangat bertentangan dengan rasa keadilan bagi masyarakat. Hal demikian itu nantinya akan mampu memberikan sumbangan sangat berharga bagi perkembangan ilmu hukum maupun pembaharuan hukum di masa mendatang.
Jurisprudensi yang didasarkan pada ratio decidendi yang kuat akan memberikan kontribusi cukup besar untuk mengkoreksi hukum positip (ius constitutum) serta memberikan kontribusi terhadap pembaharuan perundang-undangan (ius constituendum). Dimasa mendatang kiranya perlu dikaji dan dipertimbangkan secara mendalam kemungkinan mengadopsi, disertai adaptasi dan modifikasi, doktrin “stare decisis” dan “precedent” ke dalam sistem peradilan di Indonesia. Adopsi disertai adaptasi dan modifikasi terhadap doktrin tersebut menurut pandangan saya, bukanlah merupakan sesuatu kemustahilan. Meskipun secara historis Indonesia mewarisi model civil law system Eropa Kontinental sebagai akibat proses sejarah kolonisasi, sedangkan doktrin ”stare decisis” dan ”precedent” berasal dari common law system. Namun sesungguhnya dalam perkembangan dewasa ini, sebagai akibat pengaruh globalisasi, batas-batas antara civil law system dengan common law system sudah semakin kabur. Antara satu dengan yang lain sudah saling meresapi dan mempengaruhi. Termasuk bagi Indonesia, yang sedang dalam proses berupaya untuk mencari jati diri dan membangun sistem hukum nasionalnya sendiri. Dengan mengadopsi doktrin tersebut, nantinya diharapkan akan tercipta konsistensi putusan-putusan hakim dalam suatu perkara tertentu sehingga diharapkan akan mampu mewujudkan ”law and legal reform” dalam bentuk “unified legal framework” dan “law standard”. Sekaligus untuk meminimalisasi terjadinya disparitas putusan-putusan pengadilan tanpa harus mereduksi prinsip dasar kemerdekaan dan kebebasan hakim.
Bertolak dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pembaharuan hukum melalui proses judisiil menempatkan peran Hakim sebagai agent of change melalui putusan-putusannya. Putusan Hakim yang bernilai sebagai landmark decision dan bersifat visioner progresip serta memiliki perspektif futuristik antisipatif akan berkontribusi positip terhadap koreksi substansi norma yang terkandung dalam ius constitutum dalam rangka pembaharuan hukum melalui perumusan substansi norma dalam ius constituendum. Kualitas putusan hakim perlu secara terus menerus ditingkatkan secara berkelanjutan. Diantaranya melalui “recharging” dibidang “intelectual”, “technical”, “spiritual”, “moral” maupun “mental” dan lain sebagainya. Konsistensi peradilan mengikuti jurisprudensi sebagai ”landmark decision” diharapkan mampu mewujudkan “law and legal reform” dalam bentuk “unified legal framework” dan ”law standard” sekaligus meminimalisir terjadinya disparitas diantara putusan putusan pengadilan yang dapat menurunkan kewibawaan lembaga peradilan serta menurunkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa masyarakat Indonesia menginginkan adanya suatu perubahan dalam sistem peradilan, terutama semenjak jatuhnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan mantan Presiden Soeharto, dengan harapan pengadilan dapat lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat dalam memutus perkara. Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini lembaga pengadilan memiliki banyak kelemahan yang secara terus menerus perlu diperbaiki, terutama masalah kualitas, mentalitas, integritas, dan kinerja sebagian hakim, hal-hal inilah yang menyebabkan keadilan tidak dapat dirasakan oleh pencari keadilan. Dalam praktiknya, publik masih mendengar putusan-putusan kontroversial yang dibuat oleh hakim, padahal dalam mengemban tugasnya, hakim seharusnya membuat keputusan-keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi pada masyarakat.
Seiring berjalannya pemerintahan sejak awal reformasi hingga saat ini, publik sadar bahwa praktik penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan. Hal ini mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan badan peradilan terhadap masyarakat dan dunia internasional. Keadaan badan peradilan yang demikian mendesak pihakpihak yang berwenang dalam menjalankan negara ini untuk melakukan upaya-upaya luar biasa yang berorientasi kepada terciptanya badan peradilan dan hakim yang dapat menjamin masyarakat memperoleh keadilan, dan diperlakukan secara adil dalam proses pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan. Terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah tidak efektifnya pengawasan internal yang diterapkan di badan peradilan selama ini. Dengan kata lain, tingginya urgensi pembentukan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal didasarkan pada lemahnya pengawasan internal tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, lemahnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:5
1. kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai;
2. proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan
3. belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses);
Semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yangburuk itukan, tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil pengawasan. Hal-hal yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa tidak efektifnya fungsi pengawasan internal badan peradilan pada dasarnya disebabkan oleh dua factor utama, yaitu adanya semangat membela sesama korps (esprit de corps) dan tidak adanya kehendak yang sungguh-sungguh dari pimpinan badan peradilan untuk menindaklanjuti hasil pengawasan internal terhadap hakim. Akibatnya, peluang bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan kode etik untuk mendapat “pengampunan” dari pimpinan badan peradilan yang bersangkutan akan semakin terbuka. Oleh karena itu, kehadiran suatu lembaga khusus yang menjalankan fungpengawasan eksternal terhadap hakim dirasakan sangat mendesak.
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut.
1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat “tanpa pamrih” menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
3. Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.
Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut.
1. Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat “tanpa pamrih” menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur.
3. Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4. Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.
Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
BAB IV
KETENTUAN HUKUM
Pada ketentuan hukum ini akan di sampaikan pemahaman hukum tentang hakim dan pengaturannya.
Pada dasarnya manusia secara alami mempunyai kaidah seperti norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma adat sebagai aturan dalam kehidupannya. Akan tetapi norma-norma itu tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan kehidupan manusia karena tidak tegasnya sanksi bagi yang melanggarnya sehingga kesalahan itu bisa terulang lagi, maka disusunlah suatu hukum yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya. Pada hakikatnya tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Setiap hubungan kemasyarakatan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan hukum yang ada dan berlaku dalam masyarakat. Hukum berfungsi sebagai pengatur keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial, dan mewujudkan keadilan dalam hidup bersama. Karena pentingnya kedudukan hukum dalam tatanan masyarakat, maka dalam pembentukan peraturan hukum tidak bisa terlepas dari asas hukum, karena asas hukum adalah landasan utama dalam pembentukan hukum.
Larry Alexander and Emily Shernin dalam bukunya[21] bahwa suatu aturan / ketentuan apapun yang dibuat oleh penguasa untuk dilakukan karena karena secara umum dapat diterima.
. Larry Alexander and Emily Shernin[22] berpendapat bahwa dalam membuat suatu aturan memang terdapat dilema, dan mematuhi hukum secara penuh memang terkadang jadi suatu hal yang kontroversial. Karena kita semua punya kewajiban untuk melakukan apa yang benar dan hukum dimaksudkan untuk membantu kita melakukan hal-hal yg benar tersebut.
Kaidah Hukum tersusun atas kaidah-kaidah. Di puncak stufenbau terdapat grundnorm atau kaidah fundamental yang merupakan hasil pemikiran yuridis. Tata kaidah hukum adalah sistem kaidah-kaidah hukum yang hirarkies, yaitu (1) kaidah hukum dari konstitusi (2) Kaidah hukum umum atau abstrak dalam undang-undang atau hukum kebiasaan (3) kaidah hukum individual atau kaidah hukum kongkret pengadilan.
Hakim merupakan suatu kelompok profesi selain diatur oleh aturan etik/kode etiknya masing-masing, juga diatur oleh aturan hukum. Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dengan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Hakim di Indonesia berada di Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang terdiri dari badan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer dengan keuasaan mengadili bersifat absolut yang dimiliki oleh masing-masing badan peradilan tersebut dan diatur dalam undang-undang sebagai payung hukum masing-masing badan peradilan tersebut.
Hakim di Indonesia bertindak sebagai penafsir utama norma hukum yang masih bersifat abstrak generalis ke dalam peristiwa konkret yang terjadi. Profesi Hakim adalah profesi dengan pekerjaan kemanusiaan yang tidak boleh jatuh ke dalam dehumanizing yang bersifat logic mechanical hingga dapat terperosok pada jurang alienasi hukum dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Hakim bertanggung jawab untuk mengembalikan hukum kepada pemilik hukum itu yaitu manusia. Hukum untuk manusia sebagai alat untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, bukan hukum untuk hukum itu sendiri.
Roscoe Pound menguraikan bahwa membuat atau menemukan hukum sebenarnya mengandung gambaran pikiran mengenai apa yang dilakukan seseorang dan mengapa dia melakukannya[23].
Pound mengawali pembahasannya dengan tiga langkah yang terdapat dalam ajudikasi terhadap suatu kontroversi berdasarkan hukum, yaitu: (1) menemukan hukum, menentukan ketentuan-ketentuan mana dalam sistem hukum akan diterapkan, atau, jika tidak ada yang dapat diterapkan, memperoleh ketentuan untuk perkara tersebut (yang mungkin atau tidak mungkin bertahan sebagai ketentuan untuk perkara-perkara berikutnya) atas dasar materi-materi tertentu dengan cara yang ditunjukkan oleh sistem hukum; (2) melakukan interpretasi ketentuan yang dipilih atau ditentukan, yaitu, menentukan maknanya sebagaimana ketentuan itu dirumuskan dan berkaitan dengan ruang lingkupnya; (3) menerapkan terhadap kasus yang ada ketentuan yang telah ditemukan dan diinterpretasi. Pada masa lalu ketiga langkah tersebut dirancukan dengan interpretasi. Diasumsikan bahwa fungsi hakim hanya terletak pada menginterpretasikan suatu ketentuan aturan tertentu yang seluruhnya ekstra-yudisial secara otoritatif melalui proses deduksi yang tepat terhadap isinya yang tersirat secara logis dan secara mekanis menerapkan aturan yang telah ditentukan dan diinterpretasikan.
Pound melihat bahwa penerapan hukum yang mekanis tersebut adalah karakteristik dari hukum kuno. Menurut Pound, langkah pertama ke arah ilmu hukum adalah membuat perbedaan antara apa yang masuk di dalam atau apa yang tidak masuk dalam makna hukum suatu ketentuan. Selanjutnya Pound menjelaskan bahwa menemukan hukum mungkin terdapat hanya dalam menerapkan teks code atau undang-undang yang digunakan. Dalam hal itu pengadilan harus berjalan untuk menentukan makna ketentuan dan menerapkannya. Tetapi banyak kasus yang tidak sesederhana itu. Lebih dari satu teks yang dapat berlaku; lebih dari satu ketentuan yang mungkin dapat diterapkan, dan para pihak bersaing yang mana akan dijadikan dasar suatu putusan. Dalam keadaan ini beberapa ketentuan harus diinterpretasikan supaya pemilihan yang tepat dapat dilakukan. Seringkali penafsiran murni terhadap ketentuan-ketentuan yang ada menunjukkan bahwa tidak satupun memadai untuk meliputi kasus tersebut dan bahwa pada pokoknya suatu penafsiran yang baru harus diberikan.
Metode yang digunakan lebih melihat pada penyelesaian masalah dengan cara yang aman dengan menciptakan moral, manfaat koordinatif, dan efisiensi. Larry dan Emily lebih mengkonsentrasikan pada apa yang disebut mereka “rules of thumb” atau “summary rules”. Karena mereka memfokuskan diri pada aturan yang sifat normanya praktis (preskriptif) sehingga dapat dipatuhi atau dilanggar. Hal ini berbeda ketika mereka mengungkapkan pendapat mereka tentang prinsip-prinsip moral. Mereka tidak mengambil posisi tertentu pada metafisika moralitas, realitas yang merujuk pada proposisi moral maupun pada isi moralitas. Pikiran tentang moralitas, baik itu merupakan wilayah fakta moral dalam dunia eksternal maupun tanggapan murni emosional kepada dunia, dan apa saja yang dipikirkan isinya, terdapat satu prinsip bahwa kebaikan harus dimaksimalkan. Rawls mengemukakan 2 prinsip tentang keadilan, demikian juga Nozick dan Gert. Perlu diasumsikan bahwa prinsip-prinsip moral tidak ada berdasarkan diasumsikan oleh orang pada waktu dan tempat tertentu. Penyelesaian otoritatif membutuhkan keahlian. Otoritas praktis tidak hanya sekedar untuk menyelesaikan, tapi juga menyelesaikan dengan baik. Aturan dapat membangun koordinasi dan efisiensi pengambilan keputusan.
Muncul suatu gambaran yang rumit, karena masyarakat juga memiliki suatu aturan tertentu yang disepakati dan berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga bertabrakan dengan paket aturan yang akan diterapkan. Sehingga terjadi kesenjangan antara aturan yang berlaku dalam masyarakat dan aturan yang akan diterapkan.
Ada beberapa alasan terjadinya kesenjangan tersebut. Antara lain salah interpretasi terhadap aturan biasa yang berlaku dalam masyarakat, hakim yang mengabaikan aturan biasa yang berlaku dalam masyarakat dan memberikan kepada hakim kebebasan untuk menginterpretasi. Selain itu itu ada salah interpretasi terhadap aturan konstitusional, yaitu mengabaikan pengadilan tertinggi dan memberikan kebebasan kepada Mahkamah Agung untuk berinterpretasi terhadap ketentuan Konstitusional.
Terhadap uraian dalam bagian ini, terdapat permasalahan ketika pemegang otoritas ingin membentuk suatu peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat. Permasalahan tersebut berupa ketidaksepakatan masyarakat terhadap peraturan yang akan dibuat. Masyarakat tidak sepakat karena peraturan tersebut berakibat pada perubahan pola interaksi dalam kehidupan masyarakat yang selama ini telah terbangun dan dipraktekan dalam interaksi antara anggota masyarakat tersebut. Ketidakpastian mengenai isi dan akibat dari pelaksanaan peraturan tersebut lebih mempertegas sikap masyarakat terhadap peraturan tersebut. Walaupun ada tawaran penyelesaian yang ingin ditempuh, namun upaya itu memunculkan suatu pertentangan antara norma dan perilaku masyarakat.
Dengan kesenjangan yang dihadapi perlu disikapi dengan beberapa pendekatan dan strategi. Dengan melihat lebih dekat mengenai kesejangan yang terjadi, ada strategi yang digunakan untuk mengatasi kesenjangan tersebut. Pertama aturan yang dibuat harus peka terhadap keberadaan masyarakat dan menjawab kebutuhan masyarakat, tujuan diadakannya aturan adalah untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan masyarakat, sehingga pengakuan dan kebutuhan masyarakat harus mampu diakomodir oleh aturan tersebut. Kedua, dalam pendekatan positivism, hal tersebut harus dapat dipertimbangkan untuk dimasukan dalam muatan materi aturan yang akan dibentuk. Ketiga, alasan eksklusioner. Menurut Joseph Raz, aturan hukum dapat dipahami sebagai alasan untuk bertindak, artinya aturan hukum berfungsi sebagai “perintah kedua” yang mengecualikan alasan mengatur “perintah pertama” proses pertimbangan moral. Keempat, sanksi. Cara yang memungkinkan untuk mempersempit kesenjangan adalah untuk menerapkan sanksi bagi yang melanggar aturan. Kelima, kecurangan. Merupakan salah satu alasan kekhawatiran terjadinya penipuan dalam aturan karena hal itu dapat mempengaruhi kualitas pembahasan masalah hukum dan moralitas.
Interpretasi terhadap aturan yang menjadi hal yang sangat penting, setiap kata memiliki arti yang harus ditafsirkan dengan tepat sehingga tidak terjadi kesalahan penafsiran. Eksistensi dan determinasi aturan yang telah berlaku dalam masyarakat juga harus diperhatikan karena aturan yang juga mengatur banyak hal dan telah disepakati untuk berlaku dalam masyarakat, namun perlu disesuaikan dengan kepentingan umum yang lebih luas dan bukan hanya kepentingan masyarakat itu sendiri.
Pembahasan dalam Bagian ini sangat panjang karena mengulas berbagai contoh mengenai penafsiran terhadap aturan. Bukan saja aturan yang akan dibuat, tetapi juga aturan yang berlaku secara khusus dalam suatu masyarakat yang menciptakan kesenjangan dengan aturan yang akan dibuat. Namun pada akhirnya menuju pada suatu kesimpulan bahwa interpretasi bertujuan untuk menyelesaikan, tetapi harus memberikan perhatian pada metode dan alasannya, kemudian ditampakkan pada penafsiran itu sendiri.
Dua alasan penalaran berdasarkan ketiadaan aturan, yaitu penalaran moral dan penaralan analogi. Perbedaan keduanya dikemukakan sebagai berikut:
Terkait dengan penalaran moral digunakan karena tidak adanya aturan, maka hakim berwenang menyelesaikan sengketa yang tidak diatur dalam aturan manapun, pendekatan yang paling mudah untuk hakim adalah dengan menggunakan penalaran moral biasa, dilengkapi dengan penalaran empiris biasa, untuk mencapai hasil terbaik. Sehingga dengan bebas hakim menggunakan penalaran moral yang ada dalam dirinya untuk memutuskan suatu sengketa, dengan harapan bahwa putusan yang dibuat memberikan hasil yang memuaskan
Jika menggunakan penalaran analogi karena ketiadaan aturan, maka menurut pendapat Scott Brewer dapat dijadikan dasar karena menurut Brewer, penalaran analogis sebagai suatu proses seperti keseimbangan refkelsi, kecuali putusan sebelumnya berdiri di tempat moral sebagai sumber prinsip putusan tentative. Penalaran analogi bukan hanya sekedar mengurangi jumlah aturan kanonik. Sebaliknya, menggabungkan deduksi dengan " abduction " - langkah kritis di mana hakim menarik dari keputusan sebelum aturan penjamin analogi yang menangkap kemiripan dan perbedaan deduksi dan “abduction”.
Mengenai aturan Lex dengan beberapa masalah yang berkaitan dengan yurispudensi: pengaruh revolusi, penaklukan dan hilangnya ketaatan kepada sistem hukum, kewajiban untuk mematuhi hukum; hubungan antara hukum dengan paksaan, dan obyektivitas serta kepastian hukum.
Pada bagian ini, Murphy mengkedepankan hasil karya H. L. A. Hart The Concept of Law. Bagi Hart, kunci untuk menyediakan sebuah laporan yang memadai tentang hukum alam adalah dengan memahami hukum bukan sebagai perintah namun sebagai peraturan. Perintah memiliki lebih banyak jangkauan terbatas dibandingkan peraturan. Kita dapat menyuruh orang lain untuk melakukan tindakan, tetapi secara harafiah kita tidak dapat memerintah diri kita sendiri. Kita dapat memerintah apa yang dipertunjukkan dan apa yng tidak dipertunjukan, tapi kita tidak bisa memerintah sebuah kasus, ataus seseorang yang memiliki kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Kita membutuhkan sebuah pemikiran dengan ruang lungkup yang luas daripada sekedar yang diberikan oleh sebuah perintah: itu adalah peraturan. Dalam sudut pandang Hart, hukum adalah cakupan peraturan sosial tertentu, atau yang lebih dari itu, sistem peraturan sosial tertentu. Hart harus menjelaskan apa itu peraturan sosial pada umumnya dan apa yang membuat hukum lebih khusus dari hanya sekedar peraturan sosial.
Satu hal yang khusus menurut Hart yaitu peraturan sosial memiliki aspek internal. Kita harus membedakan antara yang disebut sebagai “gambaran peraturan sosial” dan “peraturan norma-norma sosial.” Penjelasan gambaran peraturan sosial adalah sederhana saja jika terdapat contoh yang kuat dari perilaku sosial, ketika anggota sebuah grup melakukan sesuatu “sebagai peraturan”. Gambaran peraturan sosial hanya memiliki sebuah aspek eksternal: mereka menjelaskan pola dari perilaku/tindakan, dan hanya itu. Sedangkan peraturan norma-norma sosial memiliki aspek internal. Untuk mengatakan bahwa terdapat norma sosial di suatu lingkungan adalah (setidaknya terdapat beberapa bagian yang signifikan dari) sebuah kelompok yang menggunakan peraturan tersebut dalam pedomannya dan pembelaan akan perilku mereka dan dalam menjunjung juga mengkritik perilaku yang lainnya. Seperti peraturan yang tidak menjelaskan perilaku anggota suatu kelompok; mereka menyediakan sebuah norma yang dimana anggota kelompok tersebut bisa mengukur perilaku mereka sendiri.
Pandangan Hart menyatakan bahwa hukum adalah sejenis norma sosial. Ia berpendapat bahwa cara terbaik untuk memahami karakteristik dari sistem yang legal adalah dengan melihatnya sebagai jaringan peraturan sosial yang kompleks dimana ketidak selarasan perilaku seseorang dalam kaitannnya dengan statusnya sebagai akibat dari ketidak sempurnaan peraturan sosial yang lain. Bayangkan jika sekelompok masyarakat hanya diatur oleh peraturan adat. Peraturan adat adalah salah satu jenis dari norma sosial. Peraturan tersebut bisa mengatur bagaimana kita harus bersikap, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Akan tetapi peraturan adat masih memiliki beberapa kekurangan. Pertama, peraturan adat bisa tidak pasti. Untuk mengatasi masalah ketidakpastian ini, menurut Hart, mungkin sedikit terdapat kesalahan ketika membuat peraturan: yang membuatnya terdengar seolah-olah ada fakta dari persoalan bilamana ada peraturan adat dan apakah maksudnya, tetapi orang-orang tidak mampu untuk muncul dengan argumen-argumen yang meyakinkan untuk menunjukkan apa itu sebenarnya peraturan.
Akan tetapi permasalahan yang sesungguhnya lebih berat daripada itu: permasalahan yang tidak jelas dalam berbagai kasus apakah ada peraturan adat. Permasalahan kedua tentang peraturan adat adalah bahwa mereka statis. Mengatakan bahwa mereka statis bukan berarti bahwa mereka tidak pernah berubah – kita benar-benar tahu bahwa peraturan adat berubah-ubah sewaktu-waktu. Tetapi ini untuk mengatakan bahwa peraturan adat kebal dari perubahan yang disengaja.
Ketidaknyamanan atas pertauran adat yang ketiga berpusat pada cara pelanggaran diketahui, dihakimi, dan diselesaikan. Peraturan adat tidaklah efisien dengan kehormatan akan persetujuan dari tingkah laku yang bertentangan dengan peraturan. Ketika sebuah pelanggaran terjadi, ada kekurangan akan sebuah cara yang tertata untuk menanggapi pembelaan. Peraturan adat itu tidak pasti, statis, dan tidak efisien. Hukum, menurut analisa Hart, adalah sebuah perpaduan dari peraturan utama dan peraturan tambahan. Peraturan akan suatu pengakuan mempunyai tempat istimewa di dalam laporan Hart. Hal itu merupakan standar yang paling istimewa untuk menentukan kebenaran dan ketidakbenaran resmi, dan apakah itu sah atau tidak sah. Ini sudah jelas bahwa versi Hart atas paham positifisme resmi memenuhi kesosialan yang biasa – apakah hukum merupakan sebuah persoalan dari fakta sosial, diperbaiki dengan sikap-sikap, kepercayaan, tujuan, dan praktek-praktek dari orang-orang dalam interaksi mereka antara satu dengan yang lainnya.
Apa yang Hart katakan tentang hubungan antara hukum dan kepentingan bersama bahwa ada yang disebutnya sebuah “kandungan minimum dari hukum alam” dalam sistem resmi yang sebenarnya. Kita akan mulai membahas tentang ide-ide dari hukum alam secara lebih menyeluruh nanti di dalam bab, tetapi untuk sekarang pahami dulu secara sederhana sebagai kesusilaan – ada sebuah kandungan minimum dari kesusilaan dalam sistem resmi yang sebenarnya.
Muncul suatu gambaran yang rumit, karena masyarakat juga memiliki suatu aturan tertentu yang disepakati dan berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Sehingga bertabrakan dengan paket aturan yang akan diterapkan. Sehingga terjadi kesenjangan antara aturan yang berlaku dalam masyarakat dan aturan yang akan diterapkan[24].
Ada beberapa alasan terjadinya kesenjangan tersebut. Antara lain salah interpretasi terhadap aturan biasa yang berlaku dalam masyarakat, hakim yang mengabaikan aturan biasa yang berlaku dalam masyarakat dan memberikan kepada hakim kebebasan untuk menginterpretasi. Selain itu itu ada salah interpretasi terhadap aturan konstitusional, yaitu mengabaikan pengadilan tertinggi dan memberikan kebebasan kepada Mahkamah Agung untuk berinterpretasi terhadap ketentuan Konstitusional.
Terhadap uraian dalam bagian ini, terdapat permasalahan ketika pemegang otoritas ingin membentuk suatu peraturan yang mengatur kehidupan masyarakat. Permasalahan tersebut berupa ketidaksepakatan masyarakat terhadap peraturan yang akan dibuat. Masyarakat tidak sepakat karena peraturan tersebut berakibat pada perubahan pola interaksi dalam kehidupan masyarakat yang selama ini telah terbangun dan dipraktekan dalam interaksi antara anggota masyarakat tersebut. Ketidakpastian mengenai isi dan akibat dari pelaksanaan peraturan tersebut lebih mempertegas sikap masyarakat terhadap peraturan tersebut. Walaupun ada tawaran penyelesaian yang ingin ditempuh, namun upaya itu memunculkan suatu pertentangan antara norma dan perilaku masyarakat. Penulis kemudian memunculkan pendekatan hierarki peraturan, yang mempertentangkan posisi aturan masyarakat dalam hierarki peraturan.
Aturan/Lex dengan beberapa masalah yang berkaitan dengan yurispudensi: pengaruh revolusi, penaklukan dan hilangnya ketaatan kepada sistem hukum, kewajiban untuk mematuhi hukum; hubungan antara hukum dengan paksaan, dan obyektivitas serta kepastian hukum.
Oleh karenanya berlaku ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur, bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Terkait dengan ketentuan tersebut, pasal 5 ayat (1) mengatur bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam penjelasannya disebutkan, bahwa “agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”.
Penemuan hukum oleh hakim dilakukan dengan jalan mengelaborasi berbagai sumber hukum yang relevan dengan substansi perkara yang diajukan kepadanya. Dalam proses penemuan hukum, terutama dalam peradilan perdata, bisa jadi aturan hukumnya berhasil ditemukan, namun dapat juga tidak berhasil ditemukan. Bila aturan hukumnya berhasil ditemukan, misalnya berupa hukum peraturan perundang-undangan, hal itu tidak dapat secara langsung dan otomatis diterapkan. Sebab bisa jadi, terdapat pengaturan secara simultan dan mengandung konflik norma diantara berbagai peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga harus dipilih dan dipastikan manakah diantara peraturan perundang-undangan tersebut yang akan dipergunakan sebagai landasan putusan. Dalam hal terjadi konflik norma, maka untuk memastikan manakah peraturan perundang-undangan yang hendak dipergunakan sebagai landasan putusan, maka terlebih dahulu harus diselesaikan dengan menggunakan prinsip preferensi yang meliputi : lex posteriori derogat legi priori (dimensi waktu berlakunya, diantara ketentuan sederajat kedudukannya), lex specialis derogat legi generalii (dimensi substansi diantara ketentuan yang sederajat kedudukannya), serta (dimensi ketidak sederajatan kedudukan). Setelah berhasil dipastikan manakah peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar putusan, maka hal itu tidak serta merta langsung dan otomatis dapat diterapkan terhadap perkara yang bersangkutan. Melainkan terlebih dahulu memerlukan instrumen interpretasi untuk mendapatkan kejelasan kaidahnya. Karena bahasa perundang-undangan adalah bahasa hukum yang khas, eksklusif, isoteris yang kadang berlainan maknanya dengan bahasa sehari-hari. Interpretasi terhadap rumusan dan unsur-unsur yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang kemudian dikaitkan dengan fakta (dan bukti) dalam perkara bersangkutan yang terungkap dipersidangan. Penggunaan instrumen interpretasi sudah barang tentu akan sangat bermanfaat, tidak saja dalam rangka penemuan hukum, melainkan juga untuk tujuan pengembangan dan pembaharuan hukum. Interpretasi yang bersifat progressip, futuristik-antisipatif dapat menjadi koreksi terhadap substansi norma yang terkandung dalam ius constitutum sekaligus akan berkontribusi terhadap perumusan substansi dalam ius constituendum. Pilihan metode interpretasi apa (mana) yang hendak digunakan, merupakan kewenangan hakim dan dapat dilakukan secara spesifik dan kasuistis sesuai dengan urgensi maupun tujuannya. Sudah barang tentu hal itu disertai alasan mengapa digunakan pilihan model interpretasi yang demikan.
Sebagai salah satu sumber hukum formal maka yurisprudensi penting eksistensinya apabila dikorelasikan terhadap tugas Hakim. Apabila dikaji dari aliran legisme maka peranan yurisprudensi relatif kurang penting karena diasumsikan semua hukum terdapat dalam UU. Oleh karena itu, Hakim dalam melaksanakan tugasnya terikat apa yang ada dalam UU, sehingga merupakan pelaksana UU. Sedangkan menurut aliran Freie Rechtsbewegung maka Hakim dalam melaksanakan tugasnya bebas untuk melakukan apa yang ada menurut undang-undang ataukah tidak. Dimensi ini terjadi karena pekerjaan Hakim adalah melakukan “rechtsschepping”, yaitu melakukan penciptaan hukum. Konsekuensi logisnya, maka memahami yurisprudensi merupakan hal yang bersifat substansial di dalam mempelajari hukum, sedangkan mempelajari UU merupakan hal yang bersifat sekunder. Sedangkan terhadap aliran rechtsvinding, peranan yurisprudensi relatif penting dan aspek ini diserahkan kepada kebijakan Hakim. Menurut aliran ini, Hakim terikat UU akan tetapi tidak seketat aliran legisme karena Hakim memiliki “kebebasan yang terikat” (gebonden vrijheid) atau “keterikatan yang bebas” (vrije gebondenheid). Oleh sebab demikian maka tugas Hakim disebutkan sebagai melakukan “rechtsvinding” yang artinya adalah menyelaraskan UU sesuai dengan tuntutan jaman. Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas dapat melalui pelbagai penafsiran, seperti penafsiran UU, analogi (abstraksi), rechtsverfijning/determinatie yaitu membuat pengkhususan dari suatu asas dalam UU yang mempunyai arti luas (dari luas ke khusus). Contohnya adalah arrest H.R. tertanggal 4 Februari 1916 mengenai pasal 1401 N.B.W (sama dengan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Didalam keputusan tersebut Hoge Raad memuat pengkhususan dari azas “Siapa bersalah (penuh) wajib untuk mengganti kerugian (penuh)”, menjadi “Siapa bersalah sebagian wajib untuk mengganti kerugian sebagian”. Keputusan ini antara lain dimuat dalam W. 9949 dan N.J. 1916-450.
Namun sebaliknya, manakala dalam mengadili suatu perkara, ternyata aturan hukum positipnya dalam peraturan perundang-undangan tidak terdapat, maka dengan menggunakan metoda penemuan hukum, hakim dapat menggali nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Karena menggali hukum nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai wujud dari tidak tertulis telah diakui dan diterima dalam praktek peradilan sebagai sumber hukum alternatif bagi hakim untuk digunakan sebagai landasan putusannya. Terlebih lagi manakala mengadili perkara perdata yang terkait dengan hukum adat. Karena itu bagi seorang hakim dituntut untuk “mengenal dengan baik” hal hal apa saja yang telah dipandang sebagai nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam lingkungan masyarakat dimana ia nantinya ditugaskan sebagai hakim pengadilan di berbagai wilayah Indonesia, yang memiliki corak kebhinnekaan menyangkut latar belakang suku, bahasa, agama, kebiasaan serta adat istiadat masing-masing.
Bahkan dalam situasi tertentu, dimana samasekali tidak terdapat sumber hukumnya, padahal hakim dilarang menolak mengadili perkara dengan alasan demikian, maka sesungguhnya ia boleh menggunakan instrumen penciptaan hukum (rechtsschepping). Namun instrumen tersebut musti dilakukan secara hati hati, tidak serampangan dan hanya digunakan dalam kondisi darurat dengan alasan oleh karena tidak ditemukan sumber hukumnya. Penciptaan hukum terutama dalam mengadili perkara perdata yang memang memberikan elaslisitas kewenangan bagi hakim, sedangkan dalam mengadili perkara pidana terdapat pembatasan dengan berlakunya asas legalitas sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana sebagai fondasi dasar hukum pidana.
Penciptaan hukum oleh hakim berbeda dengan penciptaan hukum melalui proses legislasi. Hukum ciptaan hakim berupa putusan dan hanya berlaku mengikat khusus bagi pihak berperkara, sedangkan hukum produk legislasi berlaku umum. Bagaimanapun juga, penemuan hukum maupun penciptaan hukum oleh hakim dilakukan untuk mempertimbangkan relevansi perundang-undangan terhadap nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.[25] Memang suatu undang undang pada dasarnya dibuat untuk dijalankan, namun apabila ternyata substansi undang undang dinilai bertentangan dengan nilai nilai dasar dan rasa keadilan dalam masyarakat, maka harus ada keberanian bagi hakim untuk menyingkirkan undang undang yang bersangkutan (doktrin contra legem).
Pada dasarnya suatu undang undang dibuat adalah demi untuk mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat, dan bukan sebaliknya malah mendatangkan kemudharatan bagi masyarakat. Doktrin ius contra legem juga harus digunakan secara hati-hati, selektif, kasuistis, dengan alasan dan pertimbangan yang sangat mendasar dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu sepenuhnya akan sangat bergantung pada apa yang menjadi dasar, alasan serta pertimbangan (ratio decidendi) yang digunakan dalam putusannya. Karena apabila hal itu dilakukan secara serampangan, maka tindakan hakim yang menerapkan doktrin contra legem akan mudah menyulut penilaian bahwa hakim telah melampaui wewenangnya, yaitu seolah-olah telah melakukan judicial review yang hal itu merupakan kompetensi hakim Mahkamah Konstitusi. Penerapan doktrin contra legem diharapkan akan menjadi salah satu solusi atas terjadinya ketegangan antara statika norma dengan dinamika sosial sebagai ekspresi intelektualitas hakim melalui putusannya.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.
Disamping Undang-Undang, hakim harus berhubungan dengan permasalahan konstitusional (apakah konstitusi ditulis atau tidak), sesuatu yang bisa dijadikan teladan (apakah aturan umum atau keputusan khusus dicapai melaui keputusan pengadilan sebelumnya), dan adat, untuk mengambil tiga sumber hukum yang mungkin dinyatakan dalam penetapan peraturan masyarakat.
Undang-Undang seharusnya menjadi persoalan dari interpretasi: mereka dapat secara langsung membuat garis besar untuk memudahkan masalah pemahaman dan mereka jenisnya lebih mudah melewati atau mencabut daripada ketentuan konstitusional, sehingga ada kelambanan yang kurang untuk melawan jika para legislator berharap untuk menyimpan hukum dalam kondisi baik. Semua hakim setuju bahwa mengurus isi dari Undang-Undang sangat riskan: kata-kata yang dipakai, dan kenyataan yang diambil kedalam hukum oleh badan pembuat Undang-Undang yang relevan. Tidak ada satupun yang menyarankan menolak isi Undang-Undang dan semua hakim setuju bahwa isinya mempunya arti tersendiri dalam konteksnya.
Pandangan yang dapat dimengerti ada tiga hal: yang pertama adalah setiap orang mengambil konteks tertentu dari pengertian isinya untuk menikmati keunggulan. Pandangan sebagai penyusun membuatnya menggunakan konteks legislator menjadi sebuah dasar dengan menghasilkan sistem yang resmi; yang kedua adalah ketika konteks ini dapat diberi label sebagai konteks legislator dan konteks warga Negara, sangatlah jelas bahwa mereka memasuki beberapa tingkatan dimana keadaan membuat para legislator memilij bagaimana membuat garis besar isi Undang-Undang; yang ketiga, ketika konteks ini bergabung satu sama lain, mereka menetapkan dengan jelas, sepanjang legislator kurang memahami bagaimana warga Negara melakukan berbagai pendekat formula dari isi Undang-Undang. Hakim berhak untuk membuat keputusan yang sepenuhnya objektif untuk mereka yang menaati hakim.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembagalembaga yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD 1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat (2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga ekstra-yudisial. Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karenam itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebihnlagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesame manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan. Demikian halnya dengan profesi hakim di Indonesia, di mana terdapat suatu kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai yang bersifat universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik penting bagi hakim untuk mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan profesinya. Kode Etik Profesi Hakim Indonesia pertama kali disusun oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada Kongres III IKAHI tanggal 5-7 April 1965.2 Seiring berjalannya waktu, perkembangan berbagai hal seputar IKAHI sebagai wadah profesi hakim dan Kode Etik Profesi Hakim Indonesia terus berlangsung. Dan yang paling terkini adalah ketika MA menerbitkan Pedoman Perilaku Hakim bersamaan dengan disosialisasikannya Pedoman Etika Perilaku Hakim yang disusun KY, sehingga peristiwa ini menjadi bagian dari ketidaksepahaman antara MA dan KY. Berkaitan dengan fenomena yang tengah berkembang di masyarakat seputar konflik antara MA dan KY, Hakim Agung Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Sophian Marthabaya berpendapat bahwa suatu kode etik berlaku bagi suatu profesi tertentu sehingga sebuah kode etik harus disusun oleh profesi yang bersangkutan yang akan menjalankan kode etik tersebut. Alangkah janggalnya apabila kode etik disusun oleh suatu institusi di luar profesi yang akan menjadikan kode etik itu sebagai pedomannya. Idealnya, sebuah pedoman untuk melakukan pekerjaan dibuat sendiri oleh pihak yang akan menjalankan pekerjaan tersebut.
Bagaimanapun, kode etik dibuat untuk mengatur perilaku dan sepak terjang individu profesional dalam menjalankan profesinya.3 Penegakan supremasi hukum sebagai bagian dari agenda reformasi telah menjadi komitmen pemerintah sejak masa keruntuhan rezim Orde Baru hingga saat Ini. Namun demikian, harapan pencari keadilan terhadap lembaga peradilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan belum sepenuhnya dapat memuaskan seluruh pihak. Masyarakat mengkritik bahwa lembaga peradilan belum seperti yang diharapkan. Lambat menangani perkara, biaya yang mahal, administrasi yang berbelit-belit, perbuatan dan tingkah laku pejabat peradilan yang dianggap tercela, hingga dugaan adanya mafia peradilan (judicial corruption) menjadi alasan tidak percayanya sebagian besar masyarakat terhadap lembaga peradilan.
[1] Wayne Morrison, Jurisprudence; From the Greeks to Post-Moderism;
[2] Edgar bodenheimer, Jurisprudence (the Philosophy and Method of the Law), Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts ;
[3] Geoffrey Samuel, Epistemology and Method in Law, Juridische Bibliotheek, Universiteit Utrech, England, 2003;
[4] Roscoe Pound, An Introduction to the Philosophy of Law, Yale University Press, Cambridge, London;
[5] Sutan Takdir Alishabana, Pembimbing Ke Filsafat Metafisika, Dian Rakyat, Jakarta.
[6] Frans Limahelu, Bahan Kuliah Filsafat Hukum Pasca Sarjana S3, Universitas Airlangga;
[7] Roscoe Pound, Op.cit
[8] Roscoe Pound, Op.cit
[9] Richard A Posner, The Problems of Jurisprudence, Harvard University Presshal, Cambridge Massachusctts, London, England,;
[10] H. L. A. Hart, The Concept of Law, Clarendon Press, Oxford;
[11] Roscoe Pound, Op.cit;
[12] R.C.van Caenegem, Judges, legislator, and Professors, Cambridge University Press, London
[13] Edgar Bodenheimer, Loc.Op.cit
[14] Roscoe Pound. Loc.Op.Cit
[15] Edgar Bodenheimer, Loc. Op.cit
[16] Mark C.Murphy, Philosophy Of Law The Fundamentals, Blackwell Publishing, Australia;
[17] Lord Lloyd of Hampstead, et.al., Introduction to Jurisprudence, English Languange Books Society, Stevens & Sond, London;
[19] Lord Lloyd of Hampstead, et.al., Ibid.,
[20] J Rawls, A Theory oJ Justi ce, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press of Cambridge.
[21] Larry Alexander and Emily Shenin, The Rule Of Rules (Morality, Rules, and the Dilemmas of Law), Duke University Press :Durham and London.
[22] ibid
[23] Roscoe Pound, Loc. Op. Cit
[24] Larry Alexander and Emily Sherwin, Op.cit ;
[25] Roscoe Pound, Law Finding Through Experience and Reason : Three Lectures, University of Georgia Press, Athens;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar